Kamis, 23 Juni 2016

Makalah Budaya tentang adat Sifon dan Sistem Perhambaan di Sumba

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Budaya merupakan perilaku yang menjadi suatu kebiasaan di tengah masyarakat. Banyak hal yang dapat kita sebut sebagai budaya. Seperti: tari-tarian, musik, rumah adat, pekaian, senjata dan pola hidup dalam suatu masyarakat atau kelompok merupakan contoh yang dapat kita definisikan sebagai contoh dari budaya. Contoh-contoh tersebutlah yang sering kita bahas dalam lingkup pendidikan. Pembahasan tentang budaya pun sangat banyak sekali yang tidak akan selesai dalam membahasnya karena budaya terus berlangsung, baik faktor pendorongnya maupun faktor penghambatnya.
Suatu budaya tidak bisa kita nyatakan berjalan hanya saat budaya tersebut berkembang, karena budaya yang belum berkembang pun juga sedang berjalan. Suatu suku mengembangkan budaya dengan menerima budaya modern sehingga akan nampak perkembangan budaya mereka, di lain sisi suatu budaya menjalankan aktivitas budaya mereka dengan cara tertutup, mereka lepas tangan dan tidak mau menerima budaya modern karena menganggap budaya modern akan mengahancurkan budaya asli mereka, sehingga  terkesan kita akan menjudge budaya tersebut tidak berkembang.
Tujuan dibuat makalah ini adalah untuk menjabarkan kepada pembaca agar dapat mengetahui tentang budaya Sifon yang dilakukan oleh Masyarakat Atoni Meto dan Sistem Perhambaan yang dilakukan oleh Masyarakat  Sumba, Nusa Tenggara Timur
B. Rumusan Masalah
Dalam makalah ini penulis mengidentifikasi masalah sebagai berikut:
  • Pengertian Sifon yang dilakukan oleh Masyarakat Atoni Meto
  • Pandangan Etika Kristen dan Hukum tentang Sifon
  • Pengertian Sistem Perhambaan di Sumba
  • Pandangan Etika Kristen dan Hukum tentang Sistem Perhambaan
C. Tujuan penulisan
Adapun tujuan penulisan sebagai berikut :
a.       Untuk mengetahui Sifon dan Sistem Perhambaan.
b.      Untuk melengkapi Tugas yang diberikan oleh Dosen Etika Kristen




BAB II
PEMBAHASAN
A.  Pengertian Sifon
Tradisi ritual Sifon adalah tradisi sunatan untuk laki-laki dewasa (biasanya untuk mereka yang sudah beristri dan punya anak) yang dalam proses penyembuhannya harus melakukan hubungan badan dengan perempuan tertentu yang bukan istri atau anggota keluarga dekat. Mereka menolak proses penyunatan sejak masa kanak-kanak, karena diyakini tidak sehat dan bisa menyebabkan impoten. Tradisi ritual ini muncul dan berkembang sampai sekarang (kendatipun sudah hampir punah dan dilakukan dengan sembunyi-sembunyi) di daerah Timor Barat terutama di suku Atoni Meto. Tradisi Ritual sifon ini biasanya dilakukan pada setiap musim panen.
Tujuan Ritual Sifon adalah untuk membersihkan diri dari berbagai macam penyakit, juga membersihkan diri dari noda dosa dan pengaruh setan dan secara biologis dimaksudkan untuk menambah kejantanan dan keperkasaan seorang pria dewasa. Proses ritual ini berupa prosesi, yang diawali dengan penyerahan mahar berupa ayam, pernak-pernik dan sejumlah uang kepada dukun sunat atau Ahelet. Selanjutnya pasien akan dihantar ke sungai untuk melakukan pengakuan dosa atau Naketi. Laki-laki yang layak disunat adalah mereka yang mengakui dengan jujur kepada Ahelet bahwa dalam kehidupan sehari-hari telah sering melakukan hubungan badan dengan beberapa wanita. Sementara yang belum pernah akan ditolak Ahelet.
Setelah pengakuan dosa Ahelet akan mulai proses penyunatan pasien dengan menggunakan sebilah sembilu atau pisau. Jika sudah disunat pasien akan dikembalikan ke sungai untuk seterusnya melakukan pembersihan dan proses penyembuhan. Dan ini dilakukan secara rutin dalam jangka waktu seminggu atau bahkan lebih. Tetapi proses penyembuhan yang sesungguhnya adalah Sifon itu sendiri. Yakni ketika dalam keadaan luka yang masih belum sembuh total, si pasien harus melakukan hubungan badan dengan perempuan tertentu, yang telah disediakan oleh Ahelet atau yang dipersiapkan sendiri oleh si pasien. Dengan persyaratan bahwa setelah melakukan hubungan badan dengan perempuan yang bersangkutan, si pasien tidak diperbolehkan untuk melakukan hubungan badan dengannya sampai akhir hayat.

B.  Pandangan Etika Kristen tentang Sifon
Sifon merupakan salah satu perilaku seks yang dilakukan di luar pernikahan. Seks diluar perkawinan, sangat bertentangan dengan pemberian Allah. Hubungan seks apapun dengan siapapun selain dari dengan pasangan nikahnya adalah disalahkan di dalam Alkitab. Orang-orang yang melakukan percabulan dan perzinahan tidak dapat masuk ke dalam kerajaan surga (Galatia 5:19-21). Orang-orang yang melakukan percabulan dan perzinahan tidak dapat mewarisi kerajaan Allah (1 Korintus 6:9-10).
Percabulan adalah sebuah dosa terhadap tubuhnya sendiri dan berarti dosa terhadap Roh Kudus yang diam di dalam orang Kristen (1 Korintus 6:13-20). Bahkan adalah suatu dosa untuk memandang seorang wanita dengan nafsu birahi, dan orang yang melakukannya “sudah berzinah di dalam hatinya” (Matius 5:28). Dosa percabulan merusak siapapun. Percabulan merusak yang melakukannya, keluarga dan orang-orang yang dia kasihi dan pelanggaran yang paling berat adalah terhadap Allah (Kejadian 39:9; Mazmur 51:6).
C.  Pandangan Hukum tentang Sifon
Sifon termasuk salah satu kasus tentang pelecehan seksual. Mengenai masalah pelecehan seksual diatur dalam KUHP yaitu dalam Buku Kedua tentang Kejahatan, Bab XIV tentang Kejahatan Kesusilaan (Pasal 281 s/d 303 bis).
·         Pelecehan seksual secara umum diatur di dalam KUHP Pasal 281 dan 282;
·         Pelecehan Seksual yang dilakukan oleh laki-laki atau perempuan yang telah kawin (zinah) diatur dalam Pasal 284 KUHP;
·         Perkosaan (Pasal 286 KUHP); Menyetubuhi wanita yang sedang pingsan atau tidak berdaya
·         Bersetubuh dengan wanita di bawah umur (Pasal 287 dan 288 KUHP);
·         Berbuat cabul (Pasal 289 KUHP);
·         Berbuat cabul dengan orang yang pingsan, di bawah umur (Pasal 290 KUHP);
·         Membujuk untuk berbuat cabul pada orang yang masih belum dewasa (Pasal 293 KUHP);
·         Berbuat cabul dengan anaknya, anak tirinya, anak angkatnya, anak di bawah pengawasan yang belum dewasa (Pasal 294 KUHP);




Dalam KUHP, berat atau ringannya tindak pelecehan seksual yang dilakukan, dapat dilihat dari ancaman hukuman yang dapat dijatuhkan kepada pelaku. Sebagai contoh dalam Pasal 285 KUHP ditentukan bahwa ”Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia di luar perkawinan, diancam karena melakukan perkosaan dengan pidana penjara paling lama 12 tahun”. Sedangkan dalam Pasal 289 KUHP ditentukan bahwa ”Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seseorang untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, diancam karena melakukan perbuatan yang menyerang kehormatan kesusilaan, dengan pidana penjara paling lama 9 tahun”. Dengan demikian ketentuan Pasal 285 lebih berat dari ketentuan Pasal 289, namun ada persamaan unsur yang harus dipenuhi yaitu adanya kekerasan atau ancaman kekerasan.
D.  Pengertian sistem Penghambaan di Sumba
Dalam masyarakat Sumba adanya klasifikasi sosial secara vertikal yang masih bertahan sampai sekarang. Sistem ini dikenal dengan adanya maramba (tuan) dan ata (hamba). Meskipiun zaman semakin modern  sistem ini masih sangat sulit dirubah karena sudah turun temurun. Berdasarkan cerita yang didapatkan bahwa adanya hamba (ata) sudah merupakan perjanjian dan sumpah adat antar suku dan antar kampung.

v  Lahirnya Maramba dan Ata
Menurut penuturan yang diturunkan dari generasi ke generasi orang sumba mengakui bahwa leluhur mereka adalah Umbu Walu Mandoku dan Rambu Humba. Dari pasangan inilah yang melahirkan suku-suku yang menetap di Sumba sekarang ini. Dari cerita tersebut dapat kita ketahui bahwa pada awalnya dalam masyarakat sumba tidak dikenal adanya maramba dan ata. Dengan waktu yang terus berjalan penduduk makin banyak. Untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka harus menyebar mencari tempat yang baru lalu membentuk kampung yang baru pula. Penyebaran inilah yang menyebabkan sering terjadi pertentangan antara kampung dalam memperebutkan lahan atau wilayah yang ingin dikuasai. Akibatnya terjadi perang antar kampung. Perlu dingat bahwa perang antar kampung bukan perang antar suku. Karena dalam satu kampung tidak hanya ada satu suku tetapi lebih dari satu suku.
Pihak yang kalah dalam perang ditawan dan dijadikan Hamba (ata) bagi pihak yang menang. Dari sinilah muncul hamba dan klaim sebagai Maramba (tuan) dari pihak yang menang. Tidak adanya perlawanan dari ata karena telah disumpah adat. Sekalipun ada yang melawan akan dibunuh baik secara langsung dengan nimbu (tombak) atau kabela (parang) atau secara tidak langsung dengan sebuah ritual (hamaya puhi).

v  Maramba
Maramba (tuan) adalah orang yang memiliki hamba (ata). Maramba mempunya hak prerogatif sehingga apapun yang diperintahkan harus dilakukan oleh ata (hamba). Dalam masyarakat sumba dikenal sebutan Umbu Nai untuk laki-laki dan Rambu Nai untuk perempuan dan ditambah nama hamba. Misalnya Umbu Nai Kalikit artinya hambanya bernama Kalikit. Sebutan ini berlaku secara umum khususnya di Sumba Timur. Tetapi maramba yang memiliki hamba banyak biasanya memakai sebutan Tamu Umbu tanpa diikuti nama hamba dan umbu saja untuk yang tidak memiliki hamba.
Maramba yang tidak memiliki hamba disebabkan karena hamba adalah milik bersama dengan saudaranya atau tidak mendapatkan jatah hamba dari orang tua (jumlah anak maramba lebih banyak dibandingkan dengan jumlah anak ata dan biasanya anak terakhir yang tidak mendapatkan jatah kalau hamba kekurangan) atau hamba dari orang tuanya meninggal tanpa mempunyai anak. Akan tetapi, seorang maramba dapat membeli hamba dari kampung lainnya untuk mendapatkan sebutan Umbu Nai.
v  Ata (hamba)
Sistem Hamba ini sudah berjalan turun temurun. Artinya jika orang tua mereka adalah hamba dari satu keluarga maramba maka anak-anak atau keturunannya akan tetap menjadi hamba bagi tuan mereka. Para ata sudah terikat dengan adat istiadat dan turun temurun  sehingga tidak memiliki ruang gerak untuk menjadi maramba. Perlakuan maramba terhadap ata berbeda-beda. Ada yang memperlakukan hamba dengan baik, ada juga yang memperlakukan dengan semena-mena. Pengabdian para hamba tidak pernah mengenal usia. Mereka bekerja untuk maramba setiap hari sejak masih kecil sampai meninggal. Bahkan dulu ketika tuanya meninggal hambanya pun dikubur bersama baik masih hidup ataupun sudah meninggal. Seiring dengan perkembangan hal itu tidak lagi terjadi.
Tugas utama Hamba (Ata) adalah memelihara ternak, mengolah kebun, menyiapkan makanan dan sebagai pembawa kalumbut (tempat sirih pinang untuk laki-laki) atau mbola happa (tempat sirih pinang untuk perempuan). Juga melaksanakan perintah lain dari tuannya. Hasil kerja hamba juga dapat meningkatkan status sosial tuanya. Misalnya, semakin banyak hewan yang dipelihara maka derajat sosial tuanya akan semakin tinggi.





E.  Pandangan Etika Kristen tentang Penghambaan di Sumba
Dalam Alkitab, kita mengetahui bahwa kedatangan Kristus merupakan penggenapan nubuat para nabi, yaitu bahwa Kristus datang untuk membawa pembebasan kepada orang-orang tawanan dan orang-orang yang tertindas (lih. Luk 4: 18-21). Penggenapan nubuat ini mencapai puncaknya melalui wafat dan kebangkitan Kristus, dan karena itu, maka para rasul mengajarkan kepada para jemaat awal, bahwa di dalam Kristus, tidak ada lagi penindasan, tidak ada lagi pembedaan antara budak ataupun orang merdeka, karena kita semua yang dibaptis dalam Kristus dipersatukan menjadi anggota-anggota Tubuh-Nya sendiri:
“Sebab dalam satu Roh kita semua, baik orang Yahudi, maupun orang Yunani, baik budak, maupun orang merdeka, telah dibaptis menjadi satu tubuh dan kita semua diberi minum dari satu Roh.” (1 Kor 12:13, lih. juga Gal 3:37-28)
“….dalam hal ini tiada lagi orang Yunani atau orang Yahudi, orang bersunat atau orang tak bersunat, orang Barbar atau orang Skit, budak atau orang merdeka, tetapi Kristus adalah semua dan di dalam segala sesuatu.” (Kol 3:11)
 “….dahulu memang dia tidak berguna bagimu, tetapi sekarang sangat berguna baik bagimu maupun bagiku… Sebab mungkin karena itulah dia dipisahkan sejenak dari padamu, supaya engkau dapat menerimanya untuk selama-lamanya, bukan lagi sebagai hamba, melainkan lebih dari pada hamba, yaitu sebagai saudara yang kekasih, bagiku sudah demikian, apalagi bagimu, baik secara manusia maupun di dalam Tuhan. Kalau engkau menganggap aku temanmu seiman, terimalah dia seperti aku sendiri.” (Flm 1:11, 15-17)
Dengan demikian jelaslah Kristus memperbaharui pengajaran Perjanjian Lama (Kel 21), karena pengorbanan Kristus di kayu salib telah menebus semua orang, termasuk para hamba. Bahkan ajaran Kristus adalah agar kita berbuat kasih kepada mereka yang terkecil dan terhina, sebab dengan demikian kita melakukannya untuk Dia (lih. Mat 25: 40).




H.  Pandangan Hukum tentang Sistem Penghambaan di Sumba
                Sistem Penghambaan di Sumba merupakan perbuatan yang melanggar Hak Asasi Manusia (HAM) yang diatur dalam UU Nomor 39 Tahun 1999. Secara yuridis, dalam Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, yang dimaksud dengan pelanggaran hak asasi manusia adalah :
“ Setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara, baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara hukum mengurangi, menghalangi, membatasi dan atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh undang-undang dan tidak mendapatkan atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku.”

Sanksi terhadap pelanggaran HAM tergantung tingkat pelanggaran dan hasil keputusan hakim, namun biasanya digolongkan sebagai berikut:
  1. Pelanggaran pemusnahan rumpun bangsa (Genoside): dipidana mati, penjara seumur hidup atau penjara 20 tahun paling singkat 2 tahun.
  2. Pelanggaran pembunuhan; dipidana mati, penjara seumur hidup atau penjara 20 tahun paling singkat 3 tahun.
  3. Pelanggaran perbudakan, diskriminasi secara sistematis; dipenjara paling lama 12 tahun dan paling singkat 1 tahun
  4. Penganiayaan oleh pejabat mengakibatkan cacat fisik dan mental; dipidana mati, penjara seumur hidup, penjara paling lama 15 tahun paling sedikit 3 tahun.











BAB III
PENUTUP

A.  KESIMPULAN
Budaya merupakan perilaku yang menjadi suatu kebiasaan di tengah masyarakat. Sifon yang dilakukan oleh Masyarakat Atoni Meto dan Sistem Perhambaan di Sumba merupakan salah satu perilaku atau kebiasaan yang bertentangan dengan Kehendak Allah dan Hukum yang berlaku di Indonesia saat ini.
B.  SARAN
            Budaya-budaya yang mencerminkan perilaku tidak baik atau bertentangan dengan Kehendak Allah patut kita hilangkan dalam kehidupan kita setiap hari.

















DAFTAR PUSTAKA

Tugas Etika Kristen


TUGAS ETIKA KRISTEN




            Nama               : Molo Juniwe Akulas
NIM                : 15310096
Kelas               : A

UNIVERSITAS KRISTEN ARTHA WACANA
FAKULTAS HUKUM
KUPANG
2016


Blaise Pascal

Le Coeur
Le coeur a ses raison ne connait point (Hati mempunyai alasan-alasan yang tidak dimengerti oleh rasio) adalah ungkapan Pascal yang sangat terkenal.Dengan pernyataan ini Pascal tidak bermaksud menunjukkan bahwa rasio dan hati itu bertentangan. Hanya saja menurut Pascal, rasio atau akal manusia tidak akan sanggup untuk memahami semua hal.Baginya "hati" (Le coeur) manusia adalah jauh lebih penting.
Hati yang dimaksudkan oleh Paskal tidak semata-mata berarti emosi. Hati adalah pusat dari segala aktivitas jiwa manusia yang mampu menangkap sesuatu secara spontan dan intuitif. Rasio manusia hanya mampu membuat manusia memahami kebenaran-kebenaran matematis dan ilmu alam. Dengan memakai hati, manusia akan mampu memahami apa yang lebih jauh daripada itu yakni pengetahuan tentang Allah.
Kebenaran tidak hanya diketahui oleh akal saja tetapi juga dengan hati, bahkan menurut Paskal untuk dapat mengenal Allah secara langsung manusia harus menggunakan hatinya. Dengan demikian Paskal hendak menegaskan bahwa rasio manusia itu memiliki batas sedangkan iman tidak terbatas.
Le Pari
Le Pari atau "Pertaruhan" adalah argumen Paskal lainnya yang terkenal. Gagasan ini terkait dengan persoalan mengenai ada tidaknya Allah dalam sejarah filsafat. Ada orang-orang-orang skeptik yang kerap kali mencemooh orang-orang Kristen yang percaya bahwa Allah itu ada sementara mereka sendiri tidak dapat membuktikan secara rasional bahwa Allah itu tidak ada. Ia kemudian membuat sebuah pertaruhan mengenai ada atau tidaknya Allah.
Dalam hal ini Paskal mengambil posisi sebagai orang yang percaya akan adanya Allah. Alasannya, bila ternyata Allah memang ada, orang-orang yang percaya kepada Allah akan menang dan hidup berbahagia bersama Allah yang diimani di sorga kelak. Sementara bila ternyata Allah memang tidak ada dan orang-orang percaya kalah maka mereka tidak akan menderita kerugian apapun. Hidup baik yang telah mereka jalani selama berada di dunia sudah merupakan keutamaan yang membuat kehidupan mereka dan orang lain bahagia.





Cogito ergo sum

Cogito ergo sum adalah sebuah ungkapan yang diutarakan oleh Descartes, sang filsuf ternama dari Perancis. Artinya adalah: "aku berpikir maka aku ada". Maksudnya kalimat ini membuktikan bahwa satu-satunya hal yang pasti di dunia ini adalah keberadaan seseorang sendiri. Keberadaan ini bisa dibuktikan dengan fakta bahwa ia bisa berpikir sendiri.
Jika dijelaskan, kalimat "cogito ergo sum" berarti sebagai berikut. Descartes ingin mencari kebenaran dengan pertama-tama meragukan semua hal. Ia meragukan keberadaan benda-benda di sekelilingnya. Ia bahkan meragukan keberadaan dirinya sendiri.
Descartes berpikir bahwa dengan cara meragukan semua hal termasuk dirinya sendiri tersebut, dia telah membersihkan dirinya dari segala prasangka yang mungkin menuntunnya ke jalan yang salah. Ia takut bahwa mungkin saja berpikir sebenarnya tidak membawanya menuju kebenaran. Mungkin saja bahwa pikiran manusia pada hakikatnya tidak membawa manusia kepada kebenaran, namun sebaliknya membawanya kepada kesalahan. Artinya, ada semacam kekuatan tertentu yang lebih besar dari dirinya yang mengontrol pikirannya dan selalu mengarahkan pikirannya ke jalan yang salah.
Sampai di sini, Descartes tiba-tiba sadar bahwa bagaimanapun pikiran mengarahkan dirinya kepada kesalahan, namun ia tetaplah berpikir. Inilah satu-satunya yang jelas. Inilah satu-satunya yang tidak mungkin salah. Maksudnya, tak mungkin kekuatan tadi membuat kalimat "ketika berpikir, sayalah yang berpikir" salah. Dengan demikian, Descartes sampai pada kesimpulan bahwa ketika ia berpikir, maka ia ada. Atau dalam bahasa Latin: COGITO ERGO SUM, aku berpikir maka aku ada












 

Baruch de Spinoza

Substansi Tunggal

Pandangan Spinoza mengenai substansi tunggal merupakan tanggapannya atas pemikiran Descartes tentang masalah substansi dan hubungan antara jiwa dan tubuh. Dalam filsafat Descartes, terdapat sebuah permasalahan yaitu bagaimana Allah, jiwa, dan dunia material dapat dipikirkan sebagai satu kesatuan utuh? Dalam bukunya Ethica, ordine geometrico demonstrata (Etika yang dibuktikan dengan cara geometris), Spinoza mencoba menjawab permasalahan ini. Ia memulai menjawab permasalahan dari filsafat Descartes dengan memberikan sebuah pengertian mengenai substansi. Substansi dipahami sebagai sesuatu yang ada dalam dirinya sendiri dan dipikirkan oleh dirinya sendiri, artinya sesuatu yang konsepnya tidak membutuhkan konsep lain untuk membentuknya. Menurut Spinoza, sifat substansi adalah abadi, tidak terbatas, mutlak, dan tunggal-utuh. Bagi Spinoza, hanya ada satu yang dapat memenuhi definisi ini yaitu Allah. Menurut Spinoza, sifat substansi adalah abadi, tidak terbatas, mutlak, dan tunggal-utuh. Bagi Spinoza, hanya ada satu yang dapat memenuhi definisi ini yaitu Allah. Hanya Allah yang memiliki sifat yang tak terbatas, abadi, mutlak, tunggal, dan utuh. Selain itu, Spinoza juga mengajarkan apabila Allah adalah satu-satunya substansi, maka segala yang ada harus dikatakan berasal daripada Allah. Hal ini berarti semua gejala pluralitas dalam alam baik yang bersifat jasmaniah (manusia, flora dan fauna, bahkan bintang) maupun yang bersifat rohaniah (perasaan, pemikiran, atau kehendak) bukanlah hal yang berdiri sendiri melainkan tergantung sepenuhnya dan mutlak pada Allah. Untuk menyebut gejala ini, Spinoza menggunakan sebuah istilah yaitu modi. Modi merupakan bentuk atau cara tertentu dari keluasan dan pemikiran. Dengan demikian, semua gejala dan realitas yang kita lihat dalam alam hanyalah modi saja dari Allah sebagai substansi tunggal. Dengan kata lain, alam dan segala isinya adalah identik dengan Allah secara prinsipil.
Kata kunci ajaran Spinoza adalah Deus sive natur (Allah atau alam). Yang berbeda dari ajaran ini hanyalah istilah dan sudut pandangnya saja. Sebagai Allah, alam adalah natura naturans (alam yang melahirkan). natura naturans dipandang sebagai asal usul, sebagai sumber pemancaran, sebagai daya pencipta yang asli. Sebagai dirinya sendiri, alam adalah natura naturata (alam yang dilahirkan) yaitu sebuah nama untuk alam dan Allah yang sama tetapi dipandang menurut perkembangannya yaitu alam yang kelihatan. Dengan ini Spinoza membantah ajaran Descartes bahwa realitas seluruhnya terdiri dari tiga substansi (Allah, jiwa, materi). Bagi Spinoza hanya ada satu substansi saja, yakni Allah/alam.







Tugas Sejarah Hukum Pemda

Sejarah  Undang-undang tentang Pemerintahan Daerah dari tahun 1957 sampai dengan sekarang.
a. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1957
Ada 4 (empat) persoalan besar yang mau diselesaikan dalam undang-undang ini yang sebelumnya belum dapat diselesaikan, yaitu:
1. Bagaimana seharusnya isi otonomi itu;
2. Berapa selayaknya jumlah tingkat-tingkat yang dapat dibentuk dalam sistem otonomi itu;
3. Bagaimana seharusnya kedudukan Kepala Daerah berhadapan dengan otonomi itu; dan
4. Bagaimana dan apa isi pengawasan yang tak boleh tidak harus dilakukan terhadap daerah-daerah otonomi oleh penguasa pusat.
Secara umum undang-undang ini bermaksud untuk mengatur sebaik-baiknya soal-soal yang semata-mata terletak dalam lapangan otonomi dan ”medebewind” diseluruh wilayah Negara Republik Indonesia.
Disamping itu, undang-undang ini juga merancang tentang Pemilihan Kepala Daerah secara langsung. Dimana Kepala Daerah haruslah seorang yang dekat kepada dan dikenal oleh masyarakat daerah yang bersangkutan, oleh karena itu Kepala Daerah haruslah seorang yang mendapat kepercayaan dari rakyat tersebut dan diserahi kekuasaan atas kepercayaan rakyat itu. Akan tetapi meskipun pada azasnya seorang Kepala Daerah harus dipilih secara langsung, namun sementara waktu dipandang perlu memperhatikan pula keadaan yang nyata dan perkembangan masyarakat di daerah-daerah yang kenyataannya belum bisa sampai ke taraf itu, yang dapat menjamin berlangsungnya pemilihan dengan diperolehnya hasil dari pemilihan itu yang sebaik-baiknya. Untuk sementara waktu Kepala Daerah tetap dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan mmperhatikan syarat-syarat kecakapan dan pengetahuan yang diperlukan bagi jabatan tersebut.
b. Undang-undang Nomor 18 Tahun 1965
Perubahan Undang-undang tentang Pemerintahan Daerah dari Undang-undang Nomor 1 Tahun 1957 ke Undang-undang Nomor 18 tahun 1965 dilatarbelakangi karena perkembangan ketatanegaraan setelah Dekrit Presiden Republik Indonesia tanggal 5 Juli 1959 yang menyatakan berlakukanya kembali Undang-undang Dasar 1945, maka undang-undang ini disusun untuk malaksanakan Pasal 18 UUD dengan berpedoman kepada Manifesto Politik Republik Indonesia sebagai Garis-garis Besar Haluan Negara yang dipidatokan Presiden pada tanggal 17Agustus 1959 dan telah diperkuat oleh Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) Nomor 1/MPRS/1960 bersama dengan segala pedoman pelaksanaannya.
Sesuai dengan Ketetapan MPRS Nomor: II/MPRS/1960 dan Keputusan Presiden Nomor: 514 tahun 1961, maka undang-undang ini mencakup segala pokok-pokok (unsur-unsur) yang progresif dari Undang-undang No. 22 Tahun 1948, Undang-undang No. 1 Tahun 1957, Penetapan Presiden No. 6 Tahun 1959 (disempurnakan), Penetapan Presiden No. 2 tahun 1960 dan Penetapan Presiden No. 5 Tahun 1960 (disempurnakan) juncto Penetapan Presiden No. 7 Tahn 1965 dengan maksud dan tujuan berdasarkan gagasan Demokrasi Terpimpin dalam rangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.


Dengan berlakunya satu saja undang-undang tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah ini, maka dapatlah diakhiri kesimpangsiuran dibidang hukum yang menjadi landasan bagi pembentukan dan penyusunan Pemerintahan Daerah dan dapat diakhiri pula segala kelemahan demokrasi liberal, sehingga akan terwujudlah pemerintahan daerah yang memenuhi sifat-sifat dan syarat-syarat yang dikehendaki oleh Ketetapan MPRS No. II/MPRS/1960 yaitu stabil dan berkewibawaan yang mencerminkan kehendak rakyat, revolusioner dan gotong royong, serta terjaminnya keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Undang-undang ini berkehendak membagi habis seluruh Negara Republik Indonesia dalam tiga tingkatan daerah yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri (Otonomi).
c. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974
Perubahan ini disebabkan karena Undang-undang sebelumnya sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan keadaan pada waktu itu, dimana sesuai dengan sifat Negara Kesatuan Republik Indonesia maka kedudukan Pemerintah Daerah sejauh mungkin diseragamkan. Disamping itu untuk menjamin terselenggaranya tertib pemerintahan, wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia perlu dibagi atas daerah besar dan daerah kecil, baik yang bersifat otonom maupun yang bersifat administratif.
d. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999
Undang-undang ini pada prinsipnya mengatur penyelenggaraan Pemerintahan Daerah yang lebih mengutamakan pelaksanaan asas desentralisasi, karena Negara Republik Indonesia sebagai Negara Kesatuan menganut asas Desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan, dengan memberikan kesempatan dan keleluasaan kepada daerah untuk menyelenggarakan otonomi daerah. Dengan kata lain perubahan Undang-undang tentang Pemerintahan Daerah dari Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 ke Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 adalah perubahan dari penyerahan urusan ke pengakuan kewenangan kepada daerah untuk mengatur dan menguruh sendiri rumah tangganya.
Hal-hal mendasar dalam undang-undang ini adalah mendorong untuk memberdayakan masyarakat, menumbuhkan prakarsa dan kreativitas, meningkatkan peran serta masyarakat, mengembangkan peran dan fungsi DPRD. Oleh karena itu, undang-undang ini menempatkan otonomi daerah secara utuh pada Daerah Kabupaten dan Daerah Kota, yang dalam Undang-undang Nomor 5 tahun 1974 berkedudukan sebagai Kabupaten Daerah Tingkat II dan Kotamadya daerah Tingkat II. Daerah Kabupaten dan Daerah Kota tersebut berkedudukan sebagai Daerah Otonom mempunyai kewenangan dan keleluasaan untuk membentuk dan melaksanakan kebijakan menurut prakarsa dan aspirasi masyarakat. Propinsi daaerah Tingkat I menurut Undang-undang No. 5 Tahun 1974, dalam undang-undang ini dijadikan daerah Propinsi dengan kedudukan sebagai Daerah Otonom dan sekaligus Wilayah Administrasi, yang melaksanakan kewenangan Pemerintah Pusat yang didelegasikan kepada Gubernur. Daerah Propinsi bukan merupakan Pemerintahan atasan dari daerah Kabupaten dan Daerah Kota. Dengan demikian, Daerah Otonomi Propinsi dan Daerah Kabupaten dan Daerah Kota tidak mempunyai hubungan hierarki.







Prinsip-prinsip pemberian Otonomi Daerah yang dijadikan pedoman dalam undang-undang ini adalah sebagai berikut:
1. Penyelenggaraan Otonomi Daerah dilaksanakan dengan memperhatikan aspek demokrasi, keadilan, pemerataan, serta potensi dan keanekaragaman daerah;
2. Pelaksanaan Otonomi Daerah didasarkan pada otonomi luas, nyata, dan bertanggungjawab;
3. Pelaksanaan Otonomi Daerah yang luas dan utuh diletakkan pada Daerah Kabupaten dan Daerah Kota, sedang Otonomi Daerah Propinsi merupakan otonomi yang terbatas;
4. Pelaksanaan Otonomi Daerah harus sesuai dengan konstitusi negara sehingga tetap terjamin hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta antar daerah;
5. Pelaksanaan Otonomi Daerah harus lebih meningkatkan kemandirian daerah otonom, dan karenanya dalam Daerah Kabupaten dan Daerah Kota tidak ada lagi wilayah Administrasi;
6. Pelaksanaan Otonomi Daerah harus lebih meningkatkan peranan dan fungsi Badan Legislatif Daerah, baik sebagai fungsi legislasi, fungsi pengawas maupun fungsi anggaran atas penyelenggaraan Pemerintahan Daerah;
7. Pelaksanaan Asas Dekonsentrasi diletakkan pada Daerah Propinsi dalam kedudukannya sebagai Wilayah Administrasi untuk melaksanakan kewenangan pemerintahan tertentu yang dilimpahkan kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah; dan
8. Pelaksanaan asas tugas pembantuan dimungkinkan, tidak hanya dari pemerintah kepada daerah, tetapi juga dari pemerintah dan Daerah kepada Desa yang disertai dengan pembiayaan, sarana dan prasarana, serta sumber daya manusia dengan kewajiban melaporkan pelaksanaan dan mempertanggungjawabkan kepada yang menugaskan.
e. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004
Perubahan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 ke Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004, disamping karena adanya perubahan Undang-undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, juga memperhatikan beberapa Ketetapan MPR dan Keputusan MPR, seperti; Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/2000 tentang Rekomendasi Kebijakan Dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah; dan Ketetapan MPR Nomor VI/MPR/2002 tentang Rekomendasi Atas Laporan Pelaksanaan Putusan MPR RI oleh Presiden, DPA, DPR, BPK, dan MA pada sidang tahunan MPR Tahun 2002 dan Keputusan MPR Nomor 5/MPR/2003 tentang Penugasan kepada MPR-RI untuk menyampaikan saran atas laporan pelaksanaan keputusan MPR-RI oleh Presiden, DPR,BPK dan MA pada Sidang Tahunan MPR-RI Tahun 2003.
Perubahan ini juga memperhatikan perubahan Undang-undang terkait dibidang politik, diantaranya ; Undang-undang Nomor 12 tahun 2003 tentang Pemilu, Undang-undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR,DPR DPD dan DPRD, Undang-undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, dan lain-lain




KESIMPULAN
Dari Pemaparan diatas dapat kami simpulkan bahwa :
1. Sejarah perubahan Undang-undang tentang Pemerintahan Daerah dari tahun 1957 sampai dengan sekarang dapat digambarkan sebagai berikut :
a. Pada Undang-undang Nomor 1 Tahun 1957 diterapkan sistem Desentralisasi
b. Pada Undang-undang Nomor 18 Tahun 1965 diterapkan sistem Sentralisasi
c. Pada Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 diterapkan sistem Sentralisasi
d. Pada Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 diterapkan sistem Desentralisasi

e. Pada Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 diterapkan sistem Desentraisasi