BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Budaya merupakan perilaku
yang menjadi suatu kebiasaan di tengah masyarakat. Banyak hal yang dapat kita
sebut sebagai budaya. Seperti: tari-tarian, musik, rumah adat, pekaian, senjata
dan pola hidup dalam suatu masyarakat atau kelompok merupakan contoh yang dapat
kita definisikan sebagai contoh dari budaya. Contoh-contoh tersebutlah yang
sering kita bahas dalam lingkup pendidikan. Pembahasan tentang budaya pun
sangat banyak sekali yang tidak akan selesai dalam membahasnya karena budaya
terus berlangsung, baik faktor pendorongnya maupun faktor penghambatnya.
Suatu budaya tidak bisa kita
nyatakan berjalan hanya saat budaya tersebut berkembang, karena budaya yang
belum berkembang pun juga sedang berjalan. Suatu suku mengembangkan budaya
dengan menerima budaya modern sehingga akan nampak perkembangan budaya mereka,
di lain sisi suatu budaya menjalankan aktivitas budaya mereka dengan cara
tertutup, mereka lepas tangan dan tidak mau menerima budaya modern karena
menganggap budaya modern akan mengahancurkan budaya asli mereka, sehingga
terkesan kita akan menjudge budaya tersebut tidak berkembang.
Tujuan dibuat makalah ini
adalah untuk menjabarkan kepada pembaca agar dapat mengetahui tentang budaya
Sifon yang dilakukan oleh Masyarakat Atoni Meto dan Sistem Perhambaan yang
dilakukan oleh Masyarakat Sumba, Nusa
Tenggara Timur
B.
Rumusan Masalah
Dalam
makalah ini penulis mengidentifikasi masalah sebagai berikut:
- Pengertian
Sifon yang dilakukan oleh Masyarakat Atoni Meto
- Pandangan Etika Kristen dan Hukum tentang Sifon
- Pengertian Sistem Perhambaan di Sumba
- Pandangan Etika Kristen dan Hukum tentang Sistem Perhambaan
C. Tujuan penulisan
Adapun tujuan penulisan sebagai berikut :
a. Untuk mengetahui Sifon dan Sistem
Perhambaan.
b. Untuk melengkapi Tugas yang
diberikan oleh Dosen Etika Kristen
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Sifon
Tradisi ritual Sifon adalah tradisi
sunatan untuk laki-laki dewasa (biasanya untuk mereka yang sudah beristri dan
punya anak) yang dalam proses penyembuhannya harus melakukan hubungan badan
dengan perempuan tertentu yang bukan istri atau anggota keluarga dekat. Mereka
menolak proses penyunatan sejak masa kanak-kanak, karena diyakini tidak sehat
dan bisa menyebabkan impoten. Tradisi ritual ini muncul dan berkembang sampai
sekarang (kendatipun sudah hampir punah dan dilakukan dengan sembunyi-sembunyi)
di daerah Timor Barat terutama di suku Atoni Meto. Tradisi Ritual sifon ini
biasanya dilakukan pada setiap musim panen.
Tujuan Ritual Sifon adalah untuk
membersihkan diri dari berbagai macam penyakit, juga membersihkan diri dari
noda dosa dan pengaruh setan dan secara biologis dimaksudkan untuk menambah
kejantanan dan keperkasaan seorang pria dewasa. Proses ritual ini berupa
prosesi, yang diawali dengan penyerahan mahar berupa ayam, pernak-pernik dan
sejumlah uang kepada dukun sunat atau Ahelet. Selanjutnya pasien akan dihantar
ke sungai untuk melakukan pengakuan dosa atau Naketi. Laki-laki yang layak
disunat adalah mereka yang mengakui dengan jujur kepada Ahelet bahwa dalam
kehidupan sehari-hari telah sering melakukan hubungan badan dengan beberapa
wanita. Sementara yang belum pernah akan ditolak Ahelet.
Setelah pengakuan dosa Ahelet akan
mulai proses penyunatan pasien dengan menggunakan sebilah sembilu atau pisau.
Jika sudah disunat pasien akan dikembalikan ke sungai untuk seterusnya
melakukan pembersihan dan proses penyembuhan. Dan ini dilakukan secara rutin
dalam jangka waktu seminggu atau bahkan lebih. Tetapi proses penyembuhan yang
sesungguhnya adalah Sifon itu sendiri. Yakni ketika dalam keadaan luka yang
masih belum sembuh total, si pasien harus melakukan hubungan badan dengan
perempuan tertentu, yang telah disediakan oleh Ahelet atau yang dipersiapkan
sendiri oleh si pasien. Dengan persyaratan bahwa setelah melakukan hubungan
badan dengan perempuan yang bersangkutan, si pasien tidak diperbolehkan untuk
melakukan hubungan badan dengannya sampai akhir hayat.
B. Pandangan
Etika Kristen tentang Sifon
Sifon merupakan salah satu perilaku seks
yang dilakukan di luar pernikahan. Seks diluar perkawinan, sangat bertentangan
dengan pemberian Allah. Hubungan seks apapun dengan siapapun selain dari dengan
pasangan nikahnya adalah disalahkan di dalam Alkitab. Orang-orang yang
melakukan percabulan dan perzinahan tidak dapat masuk ke dalam kerajaan surga
(Galatia 5:19-21). Orang-orang yang melakukan percabulan dan perzinahan tidak
dapat mewarisi kerajaan Allah (1 Korintus 6:9-10).
Percabulan adalah sebuah dosa terhadap
tubuhnya sendiri dan berarti dosa terhadap Roh Kudus yang diam di dalam orang
Kristen (1 Korintus 6:13-20). Bahkan adalah suatu dosa untuk memandang seorang
wanita dengan nafsu birahi, dan orang yang melakukannya “sudah berzinah di
dalam hatinya” (Matius 5:28). Dosa percabulan merusak siapapun. Percabulan
merusak yang melakukannya, keluarga dan orang-orang yang dia kasihi dan
pelanggaran yang paling berat adalah terhadap Allah (Kejadian 39:9; Mazmur
51:6).
C. Pandangan Hukum tentang Sifon
Sifon termasuk salah satu kasus tentang pelecehan
seksual. Mengenai masalah pelecehan seksual diatur dalam KUHP yaitu dalam Buku
Kedua tentang Kejahatan, Bab XIV tentang Kejahatan Kesusilaan (Pasal 281 s/d
303 bis).
·
Pelecehan
seksual secara umum diatur di dalam KUHP Pasal 281 dan 282;
·
Pelecehan
Seksual yang dilakukan oleh laki-laki atau perempuan yang telah kawin (zinah)
diatur dalam Pasal 284 KUHP;
·
Perkosaan (Pasal
286 KUHP); Menyetubuhi wanita yang sedang pingsan atau tidak berdaya
·
Bersetubuh
dengan wanita di bawah umur (Pasal 287 dan 288 KUHP);
·
Berbuat cabul
(Pasal 289 KUHP);
·
Berbuat cabul
dengan orang yang pingsan, di bawah umur (Pasal 290 KUHP);
·
Membujuk untuk
berbuat cabul pada orang yang masih belum dewasa (Pasal 293 KUHP);
·
Berbuat cabul
dengan anaknya, anak tirinya, anak angkatnya, anak di bawah pengawasan yang
belum dewasa (Pasal 294 KUHP);
Dalam KUHP, berat atau ringannya tindak pelecehan
seksual yang dilakukan, dapat dilihat dari ancaman hukuman yang dapat
dijatuhkan kepada pelaku. Sebagai contoh dalam Pasal 285 KUHP ditentukan bahwa
”Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita
bersetubuh dengan dia di luar perkawinan, diancam karena melakukan perkosaan
dengan pidana penjara paling lama 12 tahun”. Sedangkan dalam Pasal 289 KUHP
ditentukan bahwa ”Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa
seseorang untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, diancam
karena melakukan perbuatan yang menyerang kehormatan kesusilaan, dengan pidana
penjara paling lama 9 tahun”. Dengan demikian ketentuan Pasal 285 lebih berat
dari ketentuan Pasal 289, namun ada persamaan unsur yang harus dipenuhi yaitu
adanya kekerasan atau ancaman kekerasan.
D. Pengertian sistem Penghambaan di Sumba
Dalam masyarakat Sumba adanya
klasifikasi sosial secara vertikal yang masih bertahan sampai sekarang. Sistem
ini dikenal dengan adanya maramba (tuan) dan ata (hamba). Meskipiun zaman
semakin modern sistem ini masih sangat sulit dirubah karena sudah turun
temurun. Berdasarkan cerita yang didapatkan bahwa adanya hamba (ata) sudah
merupakan perjanjian dan sumpah adat antar suku dan antar kampung.
v Lahirnya Maramba dan Ata
Menurut penuturan yang diturunkan dari generasi ke
generasi orang sumba mengakui bahwa leluhur mereka adalah Umbu Walu Mandoku dan
Rambu Humba. Dari pasangan inilah yang melahirkan suku-suku yang menetap di
Sumba sekarang ini. Dari cerita tersebut dapat kita ketahui bahwa pada awalnya
dalam masyarakat sumba tidak dikenal adanya maramba dan ata. Dengan waktu yang
terus berjalan penduduk makin banyak. Untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka
harus menyebar mencari tempat yang baru lalu membentuk kampung yang baru pula.
Penyebaran inilah yang menyebabkan sering terjadi pertentangan antara kampung
dalam memperebutkan lahan atau wilayah yang ingin dikuasai. Akibatnya terjadi
perang antar kampung. Perlu dingat bahwa perang antar kampung bukan perang
antar suku. Karena dalam satu kampung tidak hanya ada satu suku tetapi lebih
dari satu suku.
Pihak yang kalah dalam perang ditawan dan dijadikan Hamba
(ata) bagi pihak yang menang. Dari sinilah muncul hamba dan klaim sebagai Maramba
(tuan) dari pihak yang menang. Tidak adanya perlawanan dari ata karena telah
disumpah adat. Sekalipun ada yang melawan akan dibunuh baik secara langsung
dengan nimbu (tombak) atau kabela (parang) atau secara tidak langsung dengan
sebuah ritual (hamaya puhi).
v Maramba
Maramba (tuan) adalah orang yang memiliki hamba (ata).
Maramba mempunya hak prerogatif sehingga apapun yang diperintahkan harus dilakukan
oleh ata (hamba). Dalam masyarakat sumba dikenal sebutan Umbu Nai untuk
laki-laki dan Rambu Nai untuk perempuan dan ditambah nama hamba. Misalnya Umbu
Nai Kalikit artinya hambanya bernama Kalikit. Sebutan ini berlaku secara umum
khususnya di Sumba Timur. Tetapi maramba yang memiliki hamba banyak biasanya
memakai sebutan Tamu Umbu tanpa diikuti nama hamba dan umbu saja untuk yang
tidak memiliki hamba.
Maramba yang tidak memiliki hamba disebabkan karena
hamba adalah milik bersama dengan saudaranya atau tidak mendapatkan jatah hamba
dari orang tua (jumlah anak maramba lebih banyak dibandingkan dengan jumlah
anak ata dan biasanya anak terakhir yang tidak mendapatkan jatah kalau hamba
kekurangan) atau hamba dari orang tuanya meninggal tanpa mempunyai anak. Akan
tetapi, seorang maramba dapat membeli hamba dari kampung lainnya untuk
mendapatkan sebutan Umbu Nai.
v Ata (hamba)
Sistem Hamba
ini sudah berjalan turun temurun. Artinya jika orang tua mereka adalah hamba
dari satu keluarga maramba maka anak-anak atau keturunannya akan tetap menjadi
hamba bagi tuan mereka. Para ata sudah terikat dengan adat istiadat dan turun
temurun sehingga tidak memiliki ruang gerak untuk menjadi maramba. Perlakuan maramba terhadap ata
berbeda-beda. Ada yang memperlakukan hamba dengan baik, ada juga yang
memperlakukan dengan semena-mena. Pengabdian para hamba tidak pernah mengenal
usia. Mereka bekerja untuk maramba setiap hari sejak masih kecil sampai
meninggal. Bahkan dulu ketika tuanya meninggal hambanya pun dikubur bersama
baik masih hidup ataupun sudah meninggal. Seiring dengan perkembangan hal itu
tidak lagi terjadi.
Tugas utama
Hamba (Ata) adalah memelihara ternak, mengolah kebun, menyiapkan makanan dan
sebagai pembawa kalumbut (tempat sirih pinang untuk laki-laki) atau mbola happa
(tempat sirih pinang untuk perempuan). Juga melaksanakan perintah lain dari
tuannya. Hasil kerja hamba juga dapat meningkatkan status sosial tuanya.
Misalnya, semakin banyak hewan yang dipelihara maka derajat sosial tuanya akan
semakin tinggi.
E. Pandangan Etika Kristen tentang Penghambaan
di Sumba
Dalam Alkitab, kita mengetahui bahwa
kedatangan Kristus merupakan penggenapan nubuat para nabi, yaitu bahwa Kristus
datang untuk membawa pembebasan kepada orang-orang tawanan dan orang-orang yang
tertindas (lih. Luk 4: 18-21). Penggenapan nubuat ini mencapai puncaknya
melalui wafat dan kebangkitan Kristus, dan karena itu, maka para rasul
mengajarkan kepada para jemaat awal, bahwa di dalam Kristus, tidak ada lagi
penindasan, tidak ada lagi pembedaan antara budak ataupun orang merdeka, karena
kita semua yang dibaptis dalam Kristus dipersatukan menjadi anggota-anggota
Tubuh-Nya sendiri:
“Sebab dalam satu
Roh kita semua, baik orang Yahudi, maupun orang Yunani, baik budak, maupun orang merdeka, telah dibaptis menjadi satu
tubuh dan kita semua diberi minum dari satu Roh.” (1 Kor 12:13, lih. juga Gal
3:37-28)
“….dalam hal ini
tiada lagi orang Yunani atau orang Yahudi, orang bersunat atau orang tak
bersunat, orang Barbar atau orang Skit, budak atau orang merdeka, tetapi Kristus
adalah semua dan di dalam segala sesuatu.” (Kol 3:11)
“….dahulu memang dia tidak berguna bagimu,
tetapi sekarang sangat berguna baik bagimu maupun bagiku… Sebab mungkin karena
itulah dia dipisahkan sejenak dari padamu, supaya engkau dapat menerimanya
untuk selama-lamanya, bukan
lagi sebagai hamba, melainkan lebih dari pada hamba, yaitu sebagai saudara yang kekasih,
bagiku sudah demikian, apalagi bagimu, baik secara manusia maupun di dalam
Tuhan. Kalau engkau menganggap aku temanmu seiman, terimalah dia seperti aku
sendiri.” (Flm 1:11, 15-17)
Dengan
demikian jelaslah Kristus memperbaharui pengajaran Perjanjian Lama (Kel 21),
karena pengorbanan Kristus di kayu salib telah menebus semua orang, termasuk
para hamba. Bahkan ajaran Kristus adalah agar kita berbuat kasih kepada mereka
yang terkecil dan terhina, sebab dengan demikian kita melakukannya untuk Dia
(lih. Mat 25: 40).
H.
Pandangan Hukum tentang Sistem Penghambaan di Sumba
Sistem Penghambaan di Sumba merupakan perbuatan yang
melanggar Hak Asasi Manusia (HAM) yang diatur dalam UU Nomor 39 Tahun 1999. Secara yuridis, dalam Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, yang dimaksud dengan
pelanggaran hak asasi manusia adalah
:
“ Setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang
termasuk aparat negara, baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian
yang secara hukum mengurangi, menghalangi, membatasi dan atau mencabut hak
asasi manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh undang-undang dan
tidak mendapatkan atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum
yang adil dan benar berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku.”
Sanksi terhadap pelanggaran HAM tergantung
tingkat pelanggaran dan hasil keputusan hakim, namun biasanya digolongkan
sebagai berikut:
- Pelanggaran pemusnahan rumpun bangsa (Genoside):
dipidana mati, penjara seumur hidup atau penjara 20 tahun paling singkat 2
tahun.
- Pelanggaran pembunuhan; dipidana mati, penjara
seumur hidup atau penjara 20 tahun paling singkat 3 tahun.
- Pelanggaran perbudakan, diskriminasi secara sistematis;
dipenjara paling lama 12 tahun dan paling singkat 1 tahun
- Penganiayaan oleh pejabat mengakibatkan cacat
fisik dan mental; dipidana mati, penjara seumur hidup, penjara paling lama
15 tahun paling sedikit 3 tahun.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Budaya merupakan perilaku
yang menjadi suatu kebiasaan di tengah masyarakat. Sifon yang
dilakukan oleh Masyarakat Atoni Meto dan Sistem Perhambaan di Sumba merupakan
salah satu perilaku atau kebiasaan yang bertentangan dengan Kehendak Allah dan
Hukum yang berlaku di Indonesia saat ini.
B. SARAN
Budaya-budaya yang
mencerminkan perilaku tidak baik atau bertentangan dengan Kehendak Allah patut
kita hilangkan dalam kehidupan kita setiap hari.
DAFTAR
PUSTAKA