Kamis, 23 Juni 2016

Makalah Budaya tentang adat Sifon dan Sistem Perhambaan di Sumba

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Budaya merupakan perilaku yang menjadi suatu kebiasaan di tengah masyarakat. Banyak hal yang dapat kita sebut sebagai budaya. Seperti: tari-tarian, musik, rumah adat, pekaian, senjata dan pola hidup dalam suatu masyarakat atau kelompok merupakan contoh yang dapat kita definisikan sebagai contoh dari budaya. Contoh-contoh tersebutlah yang sering kita bahas dalam lingkup pendidikan. Pembahasan tentang budaya pun sangat banyak sekali yang tidak akan selesai dalam membahasnya karena budaya terus berlangsung, baik faktor pendorongnya maupun faktor penghambatnya.
Suatu budaya tidak bisa kita nyatakan berjalan hanya saat budaya tersebut berkembang, karena budaya yang belum berkembang pun juga sedang berjalan. Suatu suku mengembangkan budaya dengan menerima budaya modern sehingga akan nampak perkembangan budaya mereka, di lain sisi suatu budaya menjalankan aktivitas budaya mereka dengan cara tertutup, mereka lepas tangan dan tidak mau menerima budaya modern karena menganggap budaya modern akan mengahancurkan budaya asli mereka, sehingga  terkesan kita akan menjudge budaya tersebut tidak berkembang.
Tujuan dibuat makalah ini adalah untuk menjabarkan kepada pembaca agar dapat mengetahui tentang budaya Sifon yang dilakukan oleh Masyarakat Atoni Meto dan Sistem Perhambaan yang dilakukan oleh Masyarakat  Sumba, Nusa Tenggara Timur
B. Rumusan Masalah
Dalam makalah ini penulis mengidentifikasi masalah sebagai berikut:
  • Pengertian Sifon yang dilakukan oleh Masyarakat Atoni Meto
  • Pandangan Etika Kristen dan Hukum tentang Sifon
  • Pengertian Sistem Perhambaan di Sumba
  • Pandangan Etika Kristen dan Hukum tentang Sistem Perhambaan
C. Tujuan penulisan
Adapun tujuan penulisan sebagai berikut :
a.       Untuk mengetahui Sifon dan Sistem Perhambaan.
b.      Untuk melengkapi Tugas yang diberikan oleh Dosen Etika Kristen




BAB II
PEMBAHASAN
A.  Pengertian Sifon
Tradisi ritual Sifon adalah tradisi sunatan untuk laki-laki dewasa (biasanya untuk mereka yang sudah beristri dan punya anak) yang dalam proses penyembuhannya harus melakukan hubungan badan dengan perempuan tertentu yang bukan istri atau anggota keluarga dekat. Mereka menolak proses penyunatan sejak masa kanak-kanak, karena diyakini tidak sehat dan bisa menyebabkan impoten. Tradisi ritual ini muncul dan berkembang sampai sekarang (kendatipun sudah hampir punah dan dilakukan dengan sembunyi-sembunyi) di daerah Timor Barat terutama di suku Atoni Meto. Tradisi Ritual sifon ini biasanya dilakukan pada setiap musim panen.
Tujuan Ritual Sifon adalah untuk membersihkan diri dari berbagai macam penyakit, juga membersihkan diri dari noda dosa dan pengaruh setan dan secara biologis dimaksudkan untuk menambah kejantanan dan keperkasaan seorang pria dewasa. Proses ritual ini berupa prosesi, yang diawali dengan penyerahan mahar berupa ayam, pernak-pernik dan sejumlah uang kepada dukun sunat atau Ahelet. Selanjutnya pasien akan dihantar ke sungai untuk melakukan pengakuan dosa atau Naketi. Laki-laki yang layak disunat adalah mereka yang mengakui dengan jujur kepada Ahelet bahwa dalam kehidupan sehari-hari telah sering melakukan hubungan badan dengan beberapa wanita. Sementara yang belum pernah akan ditolak Ahelet.
Setelah pengakuan dosa Ahelet akan mulai proses penyunatan pasien dengan menggunakan sebilah sembilu atau pisau. Jika sudah disunat pasien akan dikembalikan ke sungai untuk seterusnya melakukan pembersihan dan proses penyembuhan. Dan ini dilakukan secara rutin dalam jangka waktu seminggu atau bahkan lebih. Tetapi proses penyembuhan yang sesungguhnya adalah Sifon itu sendiri. Yakni ketika dalam keadaan luka yang masih belum sembuh total, si pasien harus melakukan hubungan badan dengan perempuan tertentu, yang telah disediakan oleh Ahelet atau yang dipersiapkan sendiri oleh si pasien. Dengan persyaratan bahwa setelah melakukan hubungan badan dengan perempuan yang bersangkutan, si pasien tidak diperbolehkan untuk melakukan hubungan badan dengannya sampai akhir hayat.

B.  Pandangan Etika Kristen tentang Sifon
Sifon merupakan salah satu perilaku seks yang dilakukan di luar pernikahan. Seks diluar perkawinan, sangat bertentangan dengan pemberian Allah. Hubungan seks apapun dengan siapapun selain dari dengan pasangan nikahnya adalah disalahkan di dalam Alkitab. Orang-orang yang melakukan percabulan dan perzinahan tidak dapat masuk ke dalam kerajaan surga (Galatia 5:19-21). Orang-orang yang melakukan percabulan dan perzinahan tidak dapat mewarisi kerajaan Allah (1 Korintus 6:9-10).
Percabulan adalah sebuah dosa terhadap tubuhnya sendiri dan berarti dosa terhadap Roh Kudus yang diam di dalam orang Kristen (1 Korintus 6:13-20). Bahkan adalah suatu dosa untuk memandang seorang wanita dengan nafsu birahi, dan orang yang melakukannya “sudah berzinah di dalam hatinya” (Matius 5:28). Dosa percabulan merusak siapapun. Percabulan merusak yang melakukannya, keluarga dan orang-orang yang dia kasihi dan pelanggaran yang paling berat adalah terhadap Allah (Kejadian 39:9; Mazmur 51:6).
C.  Pandangan Hukum tentang Sifon
Sifon termasuk salah satu kasus tentang pelecehan seksual. Mengenai masalah pelecehan seksual diatur dalam KUHP yaitu dalam Buku Kedua tentang Kejahatan, Bab XIV tentang Kejahatan Kesusilaan (Pasal 281 s/d 303 bis).
·         Pelecehan seksual secara umum diatur di dalam KUHP Pasal 281 dan 282;
·         Pelecehan Seksual yang dilakukan oleh laki-laki atau perempuan yang telah kawin (zinah) diatur dalam Pasal 284 KUHP;
·         Perkosaan (Pasal 286 KUHP); Menyetubuhi wanita yang sedang pingsan atau tidak berdaya
·         Bersetubuh dengan wanita di bawah umur (Pasal 287 dan 288 KUHP);
·         Berbuat cabul (Pasal 289 KUHP);
·         Berbuat cabul dengan orang yang pingsan, di bawah umur (Pasal 290 KUHP);
·         Membujuk untuk berbuat cabul pada orang yang masih belum dewasa (Pasal 293 KUHP);
·         Berbuat cabul dengan anaknya, anak tirinya, anak angkatnya, anak di bawah pengawasan yang belum dewasa (Pasal 294 KUHP);




Dalam KUHP, berat atau ringannya tindak pelecehan seksual yang dilakukan, dapat dilihat dari ancaman hukuman yang dapat dijatuhkan kepada pelaku. Sebagai contoh dalam Pasal 285 KUHP ditentukan bahwa ”Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia di luar perkawinan, diancam karena melakukan perkosaan dengan pidana penjara paling lama 12 tahun”. Sedangkan dalam Pasal 289 KUHP ditentukan bahwa ”Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seseorang untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, diancam karena melakukan perbuatan yang menyerang kehormatan kesusilaan, dengan pidana penjara paling lama 9 tahun”. Dengan demikian ketentuan Pasal 285 lebih berat dari ketentuan Pasal 289, namun ada persamaan unsur yang harus dipenuhi yaitu adanya kekerasan atau ancaman kekerasan.
D.  Pengertian sistem Penghambaan di Sumba
Dalam masyarakat Sumba adanya klasifikasi sosial secara vertikal yang masih bertahan sampai sekarang. Sistem ini dikenal dengan adanya maramba (tuan) dan ata (hamba). Meskipiun zaman semakin modern  sistem ini masih sangat sulit dirubah karena sudah turun temurun. Berdasarkan cerita yang didapatkan bahwa adanya hamba (ata) sudah merupakan perjanjian dan sumpah adat antar suku dan antar kampung.

v  Lahirnya Maramba dan Ata
Menurut penuturan yang diturunkan dari generasi ke generasi orang sumba mengakui bahwa leluhur mereka adalah Umbu Walu Mandoku dan Rambu Humba. Dari pasangan inilah yang melahirkan suku-suku yang menetap di Sumba sekarang ini. Dari cerita tersebut dapat kita ketahui bahwa pada awalnya dalam masyarakat sumba tidak dikenal adanya maramba dan ata. Dengan waktu yang terus berjalan penduduk makin banyak. Untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka harus menyebar mencari tempat yang baru lalu membentuk kampung yang baru pula. Penyebaran inilah yang menyebabkan sering terjadi pertentangan antara kampung dalam memperebutkan lahan atau wilayah yang ingin dikuasai. Akibatnya terjadi perang antar kampung. Perlu dingat bahwa perang antar kampung bukan perang antar suku. Karena dalam satu kampung tidak hanya ada satu suku tetapi lebih dari satu suku.
Pihak yang kalah dalam perang ditawan dan dijadikan Hamba (ata) bagi pihak yang menang. Dari sinilah muncul hamba dan klaim sebagai Maramba (tuan) dari pihak yang menang. Tidak adanya perlawanan dari ata karena telah disumpah adat. Sekalipun ada yang melawan akan dibunuh baik secara langsung dengan nimbu (tombak) atau kabela (parang) atau secara tidak langsung dengan sebuah ritual (hamaya puhi).

v  Maramba
Maramba (tuan) adalah orang yang memiliki hamba (ata). Maramba mempunya hak prerogatif sehingga apapun yang diperintahkan harus dilakukan oleh ata (hamba). Dalam masyarakat sumba dikenal sebutan Umbu Nai untuk laki-laki dan Rambu Nai untuk perempuan dan ditambah nama hamba. Misalnya Umbu Nai Kalikit artinya hambanya bernama Kalikit. Sebutan ini berlaku secara umum khususnya di Sumba Timur. Tetapi maramba yang memiliki hamba banyak biasanya memakai sebutan Tamu Umbu tanpa diikuti nama hamba dan umbu saja untuk yang tidak memiliki hamba.
Maramba yang tidak memiliki hamba disebabkan karena hamba adalah milik bersama dengan saudaranya atau tidak mendapatkan jatah hamba dari orang tua (jumlah anak maramba lebih banyak dibandingkan dengan jumlah anak ata dan biasanya anak terakhir yang tidak mendapatkan jatah kalau hamba kekurangan) atau hamba dari orang tuanya meninggal tanpa mempunyai anak. Akan tetapi, seorang maramba dapat membeli hamba dari kampung lainnya untuk mendapatkan sebutan Umbu Nai.
v  Ata (hamba)
Sistem Hamba ini sudah berjalan turun temurun. Artinya jika orang tua mereka adalah hamba dari satu keluarga maramba maka anak-anak atau keturunannya akan tetap menjadi hamba bagi tuan mereka. Para ata sudah terikat dengan adat istiadat dan turun temurun  sehingga tidak memiliki ruang gerak untuk menjadi maramba. Perlakuan maramba terhadap ata berbeda-beda. Ada yang memperlakukan hamba dengan baik, ada juga yang memperlakukan dengan semena-mena. Pengabdian para hamba tidak pernah mengenal usia. Mereka bekerja untuk maramba setiap hari sejak masih kecil sampai meninggal. Bahkan dulu ketika tuanya meninggal hambanya pun dikubur bersama baik masih hidup ataupun sudah meninggal. Seiring dengan perkembangan hal itu tidak lagi terjadi.
Tugas utama Hamba (Ata) adalah memelihara ternak, mengolah kebun, menyiapkan makanan dan sebagai pembawa kalumbut (tempat sirih pinang untuk laki-laki) atau mbola happa (tempat sirih pinang untuk perempuan). Juga melaksanakan perintah lain dari tuannya. Hasil kerja hamba juga dapat meningkatkan status sosial tuanya. Misalnya, semakin banyak hewan yang dipelihara maka derajat sosial tuanya akan semakin tinggi.





E.  Pandangan Etika Kristen tentang Penghambaan di Sumba
Dalam Alkitab, kita mengetahui bahwa kedatangan Kristus merupakan penggenapan nubuat para nabi, yaitu bahwa Kristus datang untuk membawa pembebasan kepada orang-orang tawanan dan orang-orang yang tertindas (lih. Luk 4: 18-21). Penggenapan nubuat ini mencapai puncaknya melalui wafat dan kebangkitan Kristus, dan karena itu, maka para rasul mengajarkan kepada para jemaat awal, bahwa di dalam Kristus, tidak ada lagi penindasan, tidak ada lagi pembedaan antara budak ataupun orang merdeka, karena kita semua yang dibaptis dalam Kristus dipersatukan menjadi anggota-anggota Tubuh-Nya sendiri:
“Sebab dalam satu Roh kita semua, baik orang Yahudi, maupun orang Yunani, baik budak, maupun orang merdeka, telah dibaptis menjadi satu tubuh dan kita semua diberi minum dari satu Roh.” (1 Kor 12:13, lih. juga Gal 3:37-28)
“….dalam hal ini tiada lagi orang Yunani atau orang Yahudi, orang bersunat atau orang tak bersunat, orang Barbar atau orang Skit, budak atau orang merdeka, tetapi Kristus adalah semua dan di dalam segala sesuatu.” (Kol 3:11)
 “….dahulu memang dia tidak berguna bagimu, tetapi sekarang sangat berguna baik bagimu maupun bagiku… Sebab mungkin karena itulah dia dipisahkan sejenak dari padamu, supaya engkau dapat menerimanya untuk selama-lamanya, bukan lagi sebagai hamba, melainkan lebih dari pada hamba, yaitu sebagai saudara yang kekasih, bagiku sudah demikian, apalagi bagimu, baik secara manusia maupun di dalam Tuhan. Kalau engkau menganggap aku temanmu seiman, terimalah dia seperti aku sendiri.” (Flm 1:11, 15-17)
Dengan demikian jelaslah Kristus memperbaharui pengajaran Perjanjian Lama (Kel 21), karena pengorbanan Kristus di kayu salib telah menebus semua orang, termasuk para hamba. Bahkan ajaran Kristus adalah agar kita berbuat kasih kepada mereka yang terkecil dan terhina, sebab dengan demikian kita melakukannya untuk Dia (lih. Mat 25: 40).




H.  Pandangan Hukum tentang Sistem Penghambaan di Sumba
                Sistem Penghambaan di Sumba merupakan perbuatan yang melanggar Hak Asasi Manusia (HAM) yang diatur dalam UU Nomor 39 Tahun 1999. Secara yuridis, dalam Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, yang dimaksud dengan pelanggaran hak asasi manusia adalah :
“ Setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara, baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara hukum mengurangi, menghalangi, membatasi dan atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh undang-undang dan tidak mendapatkan atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku.”

Sanksi terhadap pelanggaran HAM tergantung tingkat pelanggaran dan hasil keputusan hakim, namun biasanya digolongkan sebagai berikut:
  1. Pelanggaran pemusnahan rumpun bangsa (Genoside): dipidana mati, penjara seumur hidup atau penjara 20 tahun paling singkat 2 tahun.
  2. Pelanggaran pembunuhan; dipidana mati, penjara seumur hidup atau penjara 20 tahun paling singkat 3 tahun.
  3. Pelanggaran perbudakan, diskriminasi secara sistematis; dipenjara paling lama 12 tahun dan paling singkat 1 tahun
  4. Penganiayaan oleh pejabat mengakibatkan cacat fisik dan mental; dipidana mati, penjara seumur hidup, penjara paling lama 15 tahun paling sedikit 3 tahun.











BAB III
PENUTUP

A.  KESIMPULAN
Budaya merupakan perilaku yang menjadi suatu kebiasaan di tengah masyarakat. Sifon yang dilakukan oleh Masyarakat Atoni Meto dan Sistem Perhambaan di Sumba merupakan salah satu perilaku atau kebiasaan yang bertentangan dengan Kehendak Allah dan Hukum yang berlaku di Indonesia saat ini.
B.  SARAN
            Budaya-budaya yang mencerminkan perilaku tidak baik atau bertentangan dengan Kehendak Allah patut kita hilangkan dalam kehidupan kita setiap hari.

















DAFTAR PUSTAKA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar