Senin, 18 Juli 2016

Sejarah Hukum Perdata

Sejarah Hukum Perdata
Hukum perdata Belanda berasal dari hukum perdata Perancis yaitu Code Napoleon yang disusun berdasarkan hukum Romawi Corpus Juris Civilis yang pada waktu itu dianggap sebagai hukum yang paling sempurna. Hukum Privat yang berlaku di Perancis dimuat dalam dua kodifikasi yang disebut Code Civil (hukum perdata) dan Code de Commerce (hukum dagang). Sewaktu Perancis menguasai Belanda (1806-1813), kedua kodifikasi itu diberlakukan di negeri Belanda yang masih dipergunakan terus hingga 24 tahun sesudah kemerdekaan Belanda dari Perancis (1813).
Pada Tahun 1814 Belanda mulai menyusun Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Sipil) atau KUHS Negeri Belanda, berdasarkan kodifikasi hukum Belanda yang dibuat oleh MR.J.M. KEMPER disebut ONTWERP KEMPER namun sayangnya KEMPER meninggal dunia 1824 sebelum menyelesaikan tugasnya dan dilanjutkan oleh NICOLAI yang menjabat sebagai Ketua Pengadilan Tinggi Belgia. Keinginan Belanda tersebut terealisasi pada tanggal 6 Juli 1880 dengan pembentukan dua kodifikasi yang baru diberlakukan pada tanggal 1 Oktober 1838 oleh karena telah terjadi pemberontakan di Belgia yaitu :
1.      Burgerlijk Wetboek yang disingkat BW [atau Kitab Undang-Undang Hukum Perdata-Belanda.
2.       Wetboek van Koophandel disingkat WvK [atau yang dikenal dengan Kitab Undang-Undang Hukum Dagang]
Kodifikasi ini menurut Prof Mr J, Van Kan BW adalah merupakan terjemahan dari Code Civil hasil jiplakan yang disalin dari bahasa Perancis ke dalam bahasa nasional Belanda.
Hukum perdata Indonesia adalah hukum perdata yang berlaku bagi seluruh Wilayah di Indonesia. Hukum perdata yang berlaku di Indonesia adalah hukum perdata barat Belanda yang pada awalnya berinduk pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang aslinya berbahasa Belanda atau dikenal dengan Burgerlijk Wetboek dan biasa disingkat dengan B.W. Sebagian materi B.W. sudah dicabut berlakunya & sudah diganti dengan Undang-Undang RI misalnya mengenai UU Perkawinan, UU Hak Tanggungan, UU Kepailitan.
Pada 31 Oktober 1837, Mr.C.J. Scholten van Oud Haarlem di angkat menjadi ketua panitia kodifikasi dengan Mr. A.A. Van Vloten dan Mr. Meyer masing-masing sebagai anggota yang kemudian anggotanya ini diganti dengan Mr. J.Schneither dan Mr. A.J. van Nes. Kodifikasi KUHPdt. Indonesia diumumkan pada tanggal 30 April 1847 melalui Staatsblad No. 23 dan berlaku Januari 1948.
Setelah Indonesia Merdeka berdasarkan aturan Pasal 2 aturan peralihan UUD 1945, KUHPdt. Hindia Belanda tetap dinyatakan berlaku sebelum digantikan dengan undang-undang baru berdasarkan Undang – Undang Dasar ini. BW Hindia Belanda disebut juga Kitab Undang – Undang Hukun Perdata Indonesia sebagai induk hukum perdata Indonesia.
Isi KUHPerdata KUHPerdata terdiri dari 4 bagian yaitu :

1.    Buku 1 tentang Orang / Personrecht
Mengatur tentang hukum perseorangan dan hukum keluarga, yaitu hukum yang mengatur status serta hak dan kewajiban yang dimiliki oleh subyek hukum. Antara lain ketentuan mengenai timbulnya hak keperdataan seseorang, kelahiran, kedewasaan, perkawinan, keluarga, perceraian dan hilangnya hak keperdataan. Khusus untuk bagian perkawinan, sebagian ketentuan-ketentuannya telah dinyatakan tidak berlaku dengan di undangkannya UU nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan.
2.    Buku 2 tentang Benda / Zakenrecht
mengatur tentang hukum benda, yaitu hukum yang mengatur hak dan kewajiban yang dimiliki subyek hukum yang berkaitan dengan benda, antara lain hak-hak kebendaan, waris dan penjaminan. Yang dimaksud dengan benda meliputi (i) benda berwujud yang tidak bergerak misalnya tanah, bangunan dan kapal dengan berat tertentu; (ii) benda berwujud yang bergerak, yaitu benda berwujud lainnya selain yang dianggap sebagai benda berwujud tidak bergerak; dan (iii) benda tidak berwujud (misalnya hak tagih atau piutang). Khusus untuk bagian tanah, sebagian ketentuan-ketentuannya telah dinyatakan tidak berlaku dengan di undangkannya UU nomor 5 tahun 1960 tentang agraria. Begitu pula bagian mengenai penjaminan dengan hipotik, telah dinyatakan tidak berlaku dengan di undangkannya UU tentang hak tanggungan.
3.    Buku 3 tentang Perikatan /Verbintenessenrecht
mengatur tentang hukum perikatan (perjanjian) walaupun istilah ini sesunguhnya mempunyai makna yang berbeda, yaitu hukum yang mengatur tentang hak dan kewajiban antara subyek hukum di bidang perikatan, antara lain tentang jenis-jenis perikatan yang terdiri dari perikatan yang timbul dari undang-undang dan perikatan yang timbul dari adanya perjanjian, syarat-syarat dan tata cara pembuatan suatu perjanjian. Khusus untuk bidang perdagangan, Kitab undang-undang hukum dagang (KUHD) juga dipakai sebagai acuan. Isi KUHD berkaitan erat dengan KUHPer, khususnya Buku III. Bisa dikatakan KUHD adalah bagian khusus dari KUHPer.
4.    Buku 4 tentang Daluwarsa dan Pembuktian /Verjaring en Bewijs
mengatur hak dan kewajiban subyek hukum (khususnya batas atau tenggat waktu) dalam mempergunakan hak-haknya dalam hukum perdata dan hal-hal yang berkaitan dengan pembuktian. Sistematika yang ada pada KUHP tetap dipakai sebagai acuan oleh para ahli hukum dan masih diajarkan pada fakultas-fakultas hukum di Indonesia.
Hukum perdata merupakan salah satu bidang hukum yang mengatur hak dan kewajiban yang dimiliki pada subyek hukum dan hubungan antara subyek hukum. Hukum perdata disebut pula hukum privat atau hukum sipil sebagai lawan dari hukum publik. Jika hukum publik mengatur hal-hal yang berkaitan dengan negara serta kepentingan umum misalnya politik dan pemilu, hukum tata negara, kegiatan pemerintahan sehari-hari hukum administrasi atau tata usaha negara, kejahatan (hukum pidana), maka hukum perdata mengatur hubungan antara penduduk atau warga negara sehari-hari, seperti misalnya kedewasaan seseorang, perkawinan, perceraian, kematian, pewarisan, harta benda, kegiatan usaha dan tindakan-tindakan yang bersifat perdata lainnya. Ada beberapa sistem hukum yang berlaku di dunia dan perbedaan sistem hukum tersebut juga mempengaruhi bidang hukum perdata, antara lain sistem hukum Anglo-Saxon yaitu sistem hukum yang berlaku di Kerajaan Inggris Raya dan negara-negara persemakmuran atau negara-negara yang terpengaruh oleh Inggris, misalnya Amerika Serikat, sistem hukum Eropa kontinental, sistem hukum komunis, sistem hukum Islam dan sistem-sistem hukum lainnya. Hukum perdata di Indonesia didasarkan pada hukum perdata di Belanda, khususnya hukum perdata Belanda pada masa penjajahan.
Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer) yang berlaku di Indonesia tidak lain adalah terjemahan yang kurang tepat dari Burgerlijk Wetboek (BW) yang berlaku di kerajaan Belanda dan diberlakukan di Indonesia (wilayah jajahan Belanda) berdasarkan azas konkordansi. Untuk Indonesia yang saat itu masih bernama Hindia Belanda, BW diberlakukan mulai 1859. Hukum perdata Belanda sendiri disadur dari hukum perdata yang berlaku di Perancis dengan beberapa penyesuaian.


Syarat-syarat dewasa

Dewasa Menurut UU Perlindungan Anak (Nomor 23 Tahun 2002)
            Usia dewasa dalam UU perlidungan Anak diatur dalam pasal 1 angka 1  “Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan”.  Usia dewasa juga menunjukan bahwa dia sudah bisa hidup mandiri tanpa ada pengasuhan dari orang tua atau wali (Pasal 14). “Setiap anak berhak untuk diasuh oleh orang tuanya sendiri, kecuali jika ada alasan dan/atau aturan hukum yang sah menunjukkan bahwa pemisahan itu adalah demi kepentingan terbaik bagi anak dan merupakan pertimbangan terakhir”

Dewasa Menurut KUH Perdata
Usia dewasa dalam Hukum perdata diatur dalam pasal 330 KUHPerdata yaitu; “ Belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap dua puluh satu (21) tahun, dan tidak lebih dahulu telah kawin. Apabilah perkawinan itu dibubarkan sebelum umur mereka genap dua puluh satu (21) tahun, maka mereka tidak kembali lagi dalam kedudukan belum dewasa dan tidak berada dibawah kekuasaan orang tua, berada diperwalian atas dasar dan dengan cara sebagaimana teratur dalam bagian ketiga, keempat, kelima dan keenam bab ini”.
Dalam KUHPerdata pasal 330 telah dijelaskan bahwa seseorang dikatakan telah dewasa apabila ia telah mencapai usia genap 21 tahun atau yang telah menikah walau pun belum berusia genap 21 tahun, dan jika pernikahannya telah berakhir atau cerai maka orang tersebut tetap dikatakan dewasa. Tidak lagi berada dalam kekuasaan orang tuanya atau berada diperwalian. Dengan demikian maka KUHPerdata memandang seseorang yang telah berusia dewasa (21 tahun) itu kematangan secara biologis dan psikologis dianggap mampu dan cakap untuk melakukan perbuatan hukum perdata itu sendiri.

Dewasa Menurut Hukum Islam
Didalam hukum islam, usia dewasa ditandai dengan suatu peristiwa biologis. Untuk kaum pria, ditantai dengan sebuah mimpi yang biasa disebut dengan mimpi basah. Sedangkan untuk kaum wanita, ditandai dengan menstruasi. Biasanya peristiwa ini dapat dirasakan atau dialami oleh pria pada usia 15 sampai 20 tahun dan wanita 9 sampai 19 tahun.
Kompilasi Hukum Islam (KHI) adalah sekumpulan materi huku islam yang ditulis pasal demi pasal, berjumlah 229 pasal, terdiri atas tiga kelompok materi hukum, yaitu hukum perkawinan (170 pasal), hukum kewarisan termasuk wasiat dan hibah (44 pasal), hukum perwakafan (14 pasal), ditambah satu pasal ketentuan penutup yang berlaku untuk ketiga kelompok hukum tersebut. Kompilasi Hukum Islam disusun melalui jalan yang sangat panjang dan melelahkan karena pengaruh perubahan sosial politik yang terjadi di negeri ini.
Kemudian dijelaskan dalam Kompilasi Hukum Islam pada pasal 98 ayat 1, Bab XIV tentang pemeliharaan anak; “Batas usia anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa adalah dua puluh satu tahun, sepanjang anak tersebut tidak cacat fisik maupun mental atau belum pernah melangsungkan perkawinan”. Artinya; dewasa ketika sudah berumur 21 tahun atau sudah kawin, tidak cacat atau gila, dan dapat bertanggungjawab atas dirinya.

Dewasa Menurut Hukum Adat
Hukum adat tidak mengenal batas umur belum dewasa dan dewasa. Dalam hukum adat tidak dikenal fiksi seperti dalam hukum perdata. Hukum adat mengenal secara isidental saja apakah seseorang itu, berhubung umur dan perkembangan jiwanya patut dianggap cakap atau tidak cakap, mampu atau tidak mampu melakukan perbuatan hukum tertentu dalam hubungan hukum tertentu pula.  Artinya apakah ia dapat memperhitungkan dan memelihara kepentingannya sendiri dalam perbuatan hukum yang dihadapinya itu. Belum cakap artinya, belum mampu memperhitungkan dan memelihara kepentingannya sendiri. Cakap artinya, mampu memperhitungkan dan memelihara kepentingannya sendiri. Apabila kedewasaan itu dihubungkan dengan perbuatan kawin, hukum adat mengakui kenyataan bahwa apabila seorang pria dan seorang wanita itu kawin dan dapat anak, mereka dinyatakan dewasa, walaupun umur mereka itu baru 15 tahun. sebaliknya apabila mereka dikawinkan tidak dapat menghasilkan anak karena belum mampu berseksual, mereka dikatakan belum dewasa.
            Pada dasarnya hukum adat menyatakan bahwa sesorang sudah dianggap dewasa dalam hukum adat, apabila seseorang sudah kuat gawe atau mampu untuk bekerja secara mandiri, cakap mengurus harta benda serta keperluannya sendiri, serta cakap untuk melakukan segala tata cara pergaulan hidup kemasyarakatan termasuk mempertanggung jawabkan segala tindakannya. 
Dewasa Menurut UU Tenaga Kerja (Nomor 13 Tahun 2003)
            Usia dewasa dalam UU Tenaga kerja diatur dalam Pasal 1 angka 26 “ Anak adalah setiap orang yang berumur dibawah 18 (delapan belas) tahun”. Usia dewasa juga dapat dilihat dalam syarat-syarat yang diberikan untuk memperkerjakan seorang anak (Pasal 69 ayat 2). “Pengusaha yang mempekerjakan anak pada pekerjaan ringan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan:
a.       Izin tertulis dari orang tua atau wali;
b.       Perjanjian kerja antara pengusaha dengan orang tua atau wali;
c.       Waktu kerja maksimum 3 (tiga) jam;
d.      Dilakukan pada siang hari dan tidak mengganggu waktu sekolah;
e.       Keselamatan dan kesehatan kerja;
f.       Adanya hubungan kerja yang jelas; dan
g.      Menerima upah sesuai dengan ketentuan yang berlaku.


Makalah Sosiologi hukum

TUGAS SOSIOLOGI HUKUM








                        Nama-nama Kelompok I :
*      Molo Juniwe Akulas
*      Esti Meliani Ora
*      Albert Ame
*      Putri Rambu Nindir
*      Remigius Besin
*      Siprianus Oetasi
*      Martinus M. Bau
*      Adibu Dethan
*      Andry Un
*      Jhon Guntur
*      Iin R. Gaspersz
Kelas                                  : A


UNIVERSITAS KRISTEN ARTHA WACANA
FAKULTAS HUKUM
KUPANG
2016



KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa Atas Rahmat dan Berkatnya, kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Sosiologi Hukum”. Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas  yang diberikan oleh Dosen. Tidak lupa, penulis ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang turut membantu dalam penyusunan makalah ini.
              Penulis menyadari dalam makalah ini masih banyak kekurangan. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca makalah ini. Harapan penulis semoga makalah ini bermanfaat dan menjadikan sumber pengetahuan bagi para pembaca.
                                                                                                                                                Penulis                









DAFTAR ISI
Kata Pengantar  .............................................................................................................. i
Daftar Isi ......................................................................................................................... ii
Bab I. Pendahuluan ...................................................................................................... 1
a.       Latar Belakang Lahirnya Sosiologi Hukum ................................................. 1
b.      Pengertian Sosiologi Hukum ........................................................................ 2
c.       Ruang Lingkup Sosiologi Hukum ................................................................ 3
d.      Karakteristik Kajian Sosiologi Hukum ........................................................ 5
Bab II. Pembahasan ..................................................................................................... 7
a.       Masalah-masalah yang disoroti Sosiologi Hukum ....................................... 7
Bab III. Penutup .......................................................................................................... 10
a.       Kesimpulan .................................................................................................. 10
b.      Saran  ........................................................................................................... 10
Daftar Pustaka

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Lahirnya Sosiologi Hukum
Seorang pakar bernama ( Anzilotti ), pada tahun 1882 dari Itali yang permatakali memperkenalkan istilah Sosiologi hukum, yang lahir dari pemikiran di bidang filsafat hukum, ilmu hukum maupun sosiologi, sehingga sosiologi hukum merupakan refleksi inti dari pemikiran disiplin-disiplin tersebut.
1.      Filsafat Hukum
Aliran-aliran filsafat hukum yang menjadi penyebab lahirnya Sosiologi Hukum adalah aliran Positivisme, yang dikemukakan oleh Hans Kelsen dengan Stufenbau des Recht-nya. Menurut Kelsen ”hukum itu bersifat hirarkis” artinya ”hukum itu tidak boleh bertentangan dengan ketentuan yang lebih tinggi derajatnya”. Dimana urutannya adalah sebagai berikut :
Rata Penuh

Grundnorm


Konstitusi


Undang-Undang
&
Kebiasaan


Putusan Badan Pengadilan

Mengenai Grundnorm, Kelsen tidak menyebutkan/menjelaskan apa yang dimaksud dengan Grundnorm, dan hanya merupakan penafsiran yuridis saja dan menyangkut hal-hal yang bersifat meta-yuridis. Dengan demikian hanya Sosiologi Hukum yang dapat menjawab apa itu Grundnorm,yaitu merupakan dasar sosial daripada hukum. Dasar sosial dari hukum itu merupakan salah satu ruang lingkup Sosiologi Hukum.
Aliran-aliran Filsafat Hukum yang mendorong tumbuh dan berkembangnya Sosiologi Hukum adalah :
a.       Mazhab Sejarah, yang dipelopori oleh Carl Von Savigny mengatakan bahwa: ”Hukum itu tidak dibuat, tapi tumbuh dan berkembang bersama-sama dengan masyarakat (Volkgeist)”.
b.      Aliran Utility, dari Jeremi Bentham, konsepsinya: ”Hukum itu harus bermanfaat bagi masyarakat, guna mencapai hidup bahagia”.
c.       Aliran Sociological Yurisprudence, dari Eugen Ehrlich, yang konsepsinya: ”Hukum yang dibuat harus sesuai dengan hukum yang hidup dalam masyarakat (living law)”
d.      Aliran Pragmatic Legal Realism, dari Roscoe Pound, konsepsinya : ”Law is a tool of social engineering”
2.      Ilmu Hukum
Ilmu Hukum yang menganggap “hukum sebagai gejala social” banyak mendorong pertumbuhan Sosiologi Hukum. Tidak seperti Hans Kelsen yang menganggap hukum sebagai gejala normative dan bahwa hukum harus dibersihkan dari anasir-anasir sosiologis (non yuridis).
3.      Sosiologi yang berorientasi pada hukum
Para Sosiolog yang berorientasi pada hukum antara lain adalah Emile Durkheim dan Max Weber.
Menurut Emile Durkhain mengungkapkan bahwa dalam masyarakat selalu ada solideritas social yang meliputi :
a.       Solideritas social mekanis yaitu terdapat dalam masyarakat sederhana dimana kaidah hukumnya bersifat represif (yang diasosiasikan dalam hukum pidana)
b.      Solideritas social organis yaitu terdapat dalam masyarakat modern dimana kaidah hukumnya bersifat restitutif (yang diasosiasikan dalam hukum perdata).
Max Weber dengan teori ideal type, mengungkapkan bahwa hukum meliputi :
a.       Irasionil materil (pembentuk undang-undang mendasarkan keputusan-keputusannya semata-mata pada nilai-nilai emosional tanpa menunjuk pada suatu kaidahpun).
b.      Irasionil formal (pembentuk undang-undang dan hakim berpedoman pada kaidah-kaidah diluar akan, oleh karena didasarkan pada wahyu atau ramalan).
c.       Rasional materil (keputusan-keputusan para pembentuk undang-undnag dan hakim menunjuk pada suatu kitab suci, kebijaksanaan-kebijaksanaan penguasa atau ideologi).
d.      Rasional formal (hukum dibentuk semata-mata atas dasar konsep-konsep abstrak dari ilmu hukum).
B.  Pengertian Sosiologi Hukum
 Secara umum, sosiologi hukum diartikan sebagai kumpulan ilmu pengetahuan yang membahas mengenai hubungan antara manusia yang berkaitan dengan masalah hukum di tengah kehidupan masyarakat.
Selain itu beberapa ahli dari bidang ilmu sosiologi dan hukum juga memberikan beberapa pendapat mereka mengenai definisi dari sosiologi hukum. Beberapa pakar yang memberikan definisi sosiologi hukum ini antara lain:
1.      Soerjono Soekanto
Menurutnya, sosiologi hukum diartikan sebagai sebuah cabang ilmu pengetahuan yang mampu menganalisa serta mempelajari adanya interaksi yang ada pada ilmu hukm dengan gejala sosial lain. Pendekatan yang dilakukan bisa dilakukan secara analitis maupun juga secara empirik.
2.      Satjipto Rahardjo
Dalam pandangan ahli hukum dari Universitas Diponegoro, Semarang ini, sosiologi hukum dipandang sebagai pengetahuan hukum yang pembahasannya menitikberatkan pada pola perilaku masyarakat sehubungan dengan masalah sosial yang mereka hadapi.
3.      H.L.A Hart
H.L.A. Hart tidak mengemukakan definisi tentang sosiologi hukum. Namun, definisi yang dikemukakannya mempunyai aspek sosiologi hukum. Hart mengungkapkan bahwa suatu konsep tentang hukum mengandung unsur-unsur kekuasaan yang terpusatkan kepada kewajiban tertentu di dalam gejala hukum yang tampak dari kehidupan bermasyarakat. Menurut Hart, inti dari suatu sistem hukum terletak pada kesatuan antara aturan utama (primary rules) dan aturan tambahan (secondary rules). Aturan utama merupakan ketentuan informal tentang kewajiban-kewajiban warga masyarakat yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan pergaulan hidup sedangkan aturan tambahan terdiri atas :
a.       Rules of recognition, yaitu aturan yang menjelaskan aturan utama yang diperlukan berdasarkan hierarki urutannya;
b.      Rules of change, yaitu aturan yang men-sahkan adanya aturan utama yang baru;
c.       Rules of adjudication, yaitu aturan yang memberikan hak-hak kepada orang perorangan untuk menentukan sanksi hukum dari suatu peristiwa tertentu apabila suatu aturan utama dilanggar oleh warga masyarakat.

4.    Piritim Sorokin
Sosiologi adalah suatu ilmu yang mempelajari :
a.         Hubungan dan pengaruh timbal balik antara aneka macam gejala-gejala sosial (misalnya antara gejala ekonomi dengan agama; keluarga dengan moral; hukum dengan ekonomi, gerak masyarakat dengan politik, dsb)
b.         Hubungan dan pengaruh timbal balik antara gejala sosial dengan gejala-gejala non-sosial (misalnya gejala geografis, biologis, dsb)
c.         Ciri-ciri umum semua jenis gejala-gejala sosial.

C.  Ruang Lingkup Sosiologi Hukum
Sosiologi hukum berkembang atas suatu anggapan dasar bahwa proses hukum berlangsung di dalam suatu jaringan atau sistem sosial yang dinamakan masyarakat. O.W. Holmes, seorang hakim di Amerika Serikat, mengatakan bahwa kehidupan hukum tidak berdasarkan logika, melainkan pengalaman.
Ruang lingkup sosiologi hukum juga dibagi menjadi 2 hal, yaitu:
a.       Dasar-dasar sosial dari hukum atau basis sosial dari hukum. Sebagai contoh dapat disebut misalnya: Hukum nasional di Indonesia dasar sosialnya adalah pancasila dengan ciri-ciri: gotong royong, musyawarah, dan kekeluargaan.



b.      Efek-efek hukum terhadap gejala-gejala sosial lainnya. Sebagai contoh dapat disebut misalnya:
1.      Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan terhadap gejala kehidupan rumah tangga.
2.      Undang-undang No 22 Tahun 1997 dan undang-undang No. 23 Tahun 1999 tentang Narkotika dan Narkoba terhadap gejala konsumsi obat-obat terlarang dan semacamnya.
3.      Undang-Undang No 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta terhadap gejala budaya.
4.      Undang-undang mengenai pemilihan presiden secara langsung mempengaruhi gejala politik.
5.       Dan sebagainya.
Adapun ruang lingkup sosiologi hukum secara umum, yaitu hubungan antara hukum dengan gejala-gejala sosial sehingga membentuk kedalam suatu lembaga sosial ( social institution) yang merupakan himpunan nilai-nilai, kaidah-kaidah dan pola-pola perikelakuan yang berkisar pada kebutuhan-kebutuhan pokok manusia yang hidup dimasyarakat dan atau dalam lingkup proses hukumnya (law in action) bukanlah terletak pada peristiwa hukumnya ( law in the books).
Sedangkan menurut Purbacaraka dalam bukunya Sosiologi Hukum Negara, bahwa ruang lingkup sosiologi hukum adalah “Hubungan timbal balik atau pengaruh timbal balik antara hukum dengan gejala-gejala sosial lainnya (yang dilakukan secara analitis dan empiris)”. Yang diartikan sebagai hukum dalam ruang lingkup tersebut adalah suatu kompkles daripada sikap tindak manusia yang mana bertujuan untuk mencapai kedamaian dalam pergaulan hidup. Namun Menurut Soerjono Soekanto, ruang lingkup sosiologi hukum meliputi:
a.       Sampai sejauh manakah hukum yang terbentuk dari pola-pola perikelakuan atau apakah hukum yang terbentuk dari pola-pola perikelakuan tersebut.
b.      Hukum dan pola-pola perilaku sebagai ciptaan dan wujud dari kelompok-kelompok sosial.
c.       Hubungan timbal-balik antara perubahan-perubahan dalam hukum dan perubahan-perubahan sosial dan budaya.
Dari batasan ruang lingkup maupun perspektif sosiologi hukum sebagaimana dijelaskan diatas, maka dapatlah dikatakan bahwa kegunaan sosiologi hukum didalam kenyataannya adalah sebagai berikut:
a.       Sosiologi hukum berguna untuk memberikan kemampuan-kemampuan bagi pemahaman terhadap hukum didalam konteks sosial.
b.      Penguasaan konsep-konsep sosiologi hukum dapat memberikan kemampuan-kemampuan untuk mengadakan analisa terhadap efektivitas hukum dalam masyarakat, baik sebagai sarana pengendalian sosial, sarana untuk merubah masyarakat dan sarana mengatur interaksi social, agar mencapai keadaan-keadaan sosial tertentu.
c.       Sosiologi hukum memberikan kemungkinan-kemungkinan serta kemampuan untuk mengadakan evaluasi terhadap efektivitas hukum didalam masyarakat. (Soerjono Soekanto).



D.  Karakteristik kajian Sosiologi Hukum
Sosiologi Hukum adalah suatu cabang ilmu pengetahuan yang secara empiris dan analitis mempelajari hubungan timbal-balik antara hukum sebagai gejala sosial, dengan gejala gejala sosial lain. Studi yang demikian memiliki beberapa karakteristik, yaitu:

a.       Sosiologi hukum bertujuan untuk memberikan penjelasaan terhadap praktek-praktek hukum. Apabila praktek itu dibeda-bedakan kedalam pembuatan undang-undang, penerapan dan pengadilan, maka ia juga mempelajari bagaimana praktek yang terjadi pada masing-masing bidang kegiatan hukum tersebut. Sosiologi hukum berusaha untuk menjelaskan mengapa praktek yang demikian itu terjadi, sebab-sebabnya,  faktor apa saja yang mempengaruhi, latar belakang dan sebagainya. Dengan demikian maka mempelajari hukum secara sosiologi adalah menyelidiki tingkah laku orang dalam bidang hukum. Menurut Weber, tingkah laku ini memiliki dua segi, yaitu “luar” dan “dalam”. Dengan demikian sosiologi hukum tidak hanya menerima tingkah laku yang tampak dari luar saja, tetapi juga meperoleh penjelasan yang bersifat internal, yaitu meliputi motif-motif tingkah laku seseorang. Apabila di sini di sebut tingkah laku hukum maka sosiologi hukum tidak membedakan antara tingkah laku yang sesuai denagn hukum atau yang menyimpang dari kaidah hukum, keduanya merupakan obyek pengamatan dari ilmu ini.
b.      Sosiologi hukum senantiasa menguji kesahihan empiris dari suatu peraturan atau pernyataan hukum. Pertanyaan yang bersifat khas disini adalah “Bagaimanakah dalam kenyataannya peraturan itu?”, “Apakah kenyataan sesuai dengan dengan yang tertera dalam peraturan?”. Perbedaaan yang besar antara pendekatan tradisional yang normative dan pendekatan sosiologis adalah bahwa yang pertama menerima saja apa yang tertera pada peratuan hukum. Seang yang kedua senantiasa mengujinya dengan data (empiris).
c.       Sosiologi hukum tidak melakukan penilaian terhadap hukum. Tingkah laku yang menaati hukum dan yang menyimpang dari hukum sama-sama merupakan objek pengamatan yang setaraf. Ia tidak menilai yang satu lebih dari yang lain. Perhatiannya yang utama hanyalah pada memberikan penjelasan terhadap objek yang dipelajarinya. Pendekatan yang demikian itu sering menimbulkan salah paham, seolah-olah sosiologi ingin membenarkan praktek-praktek yang menyimpang atu melanggar hukum. Sekali lagi bahwa sosiologi hukum tidak memberikan penilaian tapi mendekati hukum dari segi objektivitas semata dan bertujuan untuk memberikan penjelasan terhadap fenomena hukum yang nyata.

Ketiga karakteristik studi hukum secara sosiologis tersebut diatas sekaligus juga merupakan kunci bagi orang yang berminat untuk melakukan penyelidikan dalam bidang sosiologi hukum. Dengan cara-cara menyelidiki hukum yang demikian itu orang langsung berada di tengah-tengah studi sosiologi hukum. Apapun juga objek yang dipelajarinya, apabila ia menggunakan pendekatan seperti disebutkan pada butir-butir di muka, maka ia sedang melakukan kegiatan dibidang sosiologi hukum. Berikut ini dikemukakan berbagai objek yang menjadi sasaran studi sosiologi hukum.
Sosiologi hukum juga mempelajari “pengorganisasian sosial hukum”. Objek yang menjadi sasaran disini adalah badan-badan yang terlibat dalam kegiatan-kegiatan penyelenggaran hukum. Sebagai contoh dapat disebut misalnya: “Pembuatan undang-undang pengadilan, polisi, advokat, dan sebagainya. Pada waktu mengkaji pembuatan undang-undang, seperti usia para anggotanya, pendidikannya, latar belakang sosialnya, dan sebagainya. Faktor-faktor tersebut memperoleh perhatian, oleh karena pembuat undang-undang itu dilihat sebagai manifestasi dari kelakuan manusia. Oleh karena itu, factor-faktor diatas dianggap penting untuk dapat menjelaskan mengapa hasil kerja pembuat undang-undang itu adalah seperti adanya sekarang. Dalam kajian Sosiologi hukum ada anggapan bahwa undang-undang itu tidak dapat sepenuhnya netral, apalagi yang dibuat dalam masyarakat modern yang kompleks, dan menjadi tugas sosiologi hukum untuk menelusuri dan menjelaskan duduk pesoalannya serta factor-faktor apa yang menyebabkan keadaannya menjadi demikian itu.
Bila sosiologi hukum perundang-undangan atau pengkajian yuridis empiris akan mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang berbeda dengan pegkajian yuridis normative. Karakteristik pertanyaan sosiologi hukum seperti: “Apakah sebabnya orang taat keapda hukum? Seberapa besarkah efektivitas dari peraturan-peraturan hukum tertentu? Faktor-faktor apakah yang mempengaruhi efektivitas peraturan-peraturan hukum tertentu dipengadilan?” Sosiologi hukum, misalnya tidak menerima begitu saja, bahwa hukum itu bertujuan untuk menyelesaikan konflik. Pertanyaan kritis darinya adalah, ‘Apakah hukum itu sendiri tidak mungkin menyimpan dan menimbulkan konflik?” Studi-studi sosiologi hukum pada suatu ketika dapat menyikapi bahwa suatu peraturan yang bersifat semu, dibelakang hari malah dapat meledakan suatu konflik baru.





BAB II
PEMBAHASAN
A.  Masalah-masalah yang Disoroti Sosiologi Hukum
Ada beberapa permasalahan yang mendapat sorotan dari sosiologi hukum :
1.      Hukum dan sistem sosial Masyarakat
Pada hakekatnya hal ini merupakan obyek yang menyeluruh dari sosiologi hukum sehingga tidak ada keraguan-keraguan lagi bahwa suatu sistem hukum merupakan pencerminan dari pada sistem sosial dimana sistem hukum tadi merupakan bagian-bagian. Namun permasalahan tidak semudah itu karena perlu diteliti dalam keadaan bagaimana dan dengan cara bagaimana sistem sosial mempengaruhi sistem hukum sebagai subsistemnya dan sampai sejauh mana proses pengaruh tadi bersifat timbal balik.
2.      Persamaan-persamaan dan perbedaan-perbedaan Sistem-sistem hukum
Dalam hal ini dapat mengetahui apakah memang terdapat konsep konsep hukum yang universal, dan apakah perbedaan-perbedaan yang ada merupakan suatu penyimpangan dari konsep-konsep yang universal oleh karena kebutuhan masyarakat menghendakinya.
3.  Sifat sistem hukum yang dualistis
Baik hukum substantif maupun hukum subjektif disatu pihak berisikan ketentuan- ketentuan bagaimana manusia akan menjalankan hak-haknya, mengembangkan, mempertahankan, memperkembangkan persamaan derajat manusia, menjamin kesejahteraan dan lain sebagainya. Disamping itu hukum dapat dijadikan alat yang ampuh untuk mengendalikan warga masyarakat atau dapat dijadikan sarana oleh sebagian kecil warga masyarakat yang berkuasa, mempertahankan kedudukan sosial politik ekonominya. Hukum dapat menjadi alat bagi pemerintah yang bersifat tiranis.
4. Hukum dan Keuasaan
Ditinjau dari sudut ilmu politik ; hukum merupakan suatu sarana dari elit yang memegang kekuasaan dan sedikit banyak dipergunakan sebagai alat unrtuk memepertahan kekuasaan. Secara Sosilogis,  elit tersebut merupakan golongan kecil dalam masyarakat yang mempunyai kedudukan yang lebih tinggi atau tertinggi dalam masyarakat dan biasanya berasal dari lapisan atas atau menengah atas.
5. Hukum dan nilai-nilai Sosial budaya
Hukum sebagai kaedah atau norma sosial tidak terlepas dari nilai-nilai yang berlaku di masyarakat, bahkan dapat dikatakan hukum merupkan pencerminan dan konkritisasi dari nilai-nilai yang ada dalam masyarakat.

6.      Kepastian Hukum dan Kesebandingan
Hal ini merupakan tugas pokok dari hukum, namun kedua tugas tersebut tidak dapat ditetapkan sekaligus secara merata. Sistem hukum Barat mempunyai kecenderungan menekankan segi formal rasionality yaitu penyususnan secara sistematis dari ketentuan-ketentuan namun bertentang aspek-aspek dari substantive rationality yaitu kesebandingan warga masyarkat secara individual.
7.      Peranan Hukum sebagai alat mengubah Masyarakat
Didalam proses perubahan-perubahan yang terjadi di masyarakat, biasanya ada suatu kekuatan yang menjadi pelopor perubahan atau agent of change. Kita mengenal berbagai kelompok sosial sebagai agent of change misalnya pemerintah, sekolah, organisasi politik, para cendekiawan, petani dan lain sebaganya. Bagaimanakan dengan hukum, sampai sejauh mana operanan hukum dalam mengubah masyarakat? ini merupakan pertanyaan penting ,mengingat masyarakat Indonesia sedang mengalami pembangunan dan perubahan-perubahan di segala bidang. Pembangunan mengandung aspek-aspek dinamika padahal banyak yang berpendapat bahwa hukum bersifat memepertahankan status. Bukanlah hal ini merupakan hal yang bertentangan.
a.    Pengadilan
Peranan dari struktur pengadilan, komposisi para hakim , jalannya sidang biaya yang diperlukan dan lain sebaginya ini merupakan hal-hal yang penting untuk diselidiki secara seksama. Dalam hal ini aspek lain dari pengadilan yaitu mengenai keputusan yang diberikan oleh pengadilan. Banyak sekali aspek-aspek keputusan pengadilan yang belum mendapat penelitian yang sebenarnya yang akan berguna bagi perkembangan hukum di Indonesia khususnya proses peradilan. Sebagi contoh : Faktor faktor yang mempengaruhi seorang hakim dalam memberikan keputusan atau didalam menemukan hukum, dipengaruhi faktor-faktor suasana politik,status ekonomi ataupun unsur-unsur psikologis yang sedang dialami oleh hakim. Disamping faktor tentang status terdakwa secara sosial ekonomi politis dan pengaruh media massa akan berpengaruh terhadap jalannya peradilan.
Suatu keputusan pengadilan akan berdampak pula bagi efek-efek sosial dalam masyarakat. Melakukan penelitian dan melihat latar belakang dari para hakim akan sangat berguna bagi keputusan-keputusan hakim. Oleh karena itu peranan hakim adalah penting karena hakim adalah pengambil keputusan – keputusan di pengadilan dan hakim berperan dalam mengisi kekurangan-kekurangan yang ada pada hukum positif tertulis dalam konteks perubahan sosial.




b. Efek suatu Pereturan Perundang-undangan dalam masyarakat
Efek suatu peraturan perundang-undangan didalam masyarakat merupakan salah satu usaha untuk mengetahui apakah hukum tersebut benar-benar berfungsi atau tidak. Suatu Peraturan perundang-undangan dikatakan baik belum cukup apabila hanya memenuhi persyaratan-persyaratan filosofis/idiologis dan yuridis saja; secara sosiologis peraturan tadi juga harus berlaku. Peraturan Perundang-undnagan tersebut harus diberi waktu agar meresap dalam diri warga-warga masyarakat.
c. Tertinggalnya hukum di belakang perubahan-perubahan sosial dalam
     masyarakat
Kadang-kadang hukum tidak berhasil mengusahakan atau bahkan memaksakan agar warga masyarakat menyesuaikan tingkah lakunya pada hukum yang telah diperlakukan. Hukum tertinggal apabila hukum tersebut tidak dapat memenuhi kebutuhan masyarakat pada suatu waktu dan tempat tertentu ( William F. Oghburn 1966 : 200 ).
d. Difusi hukum dan Pelembagaannya
Warga masyarakat mengetahui hukum yang berlaku serta bagaimana hukum mempengaruhi tingkah laku mereka setelah hal itu diketahuinya. Hukum mengalami proses pelembagaan atau proses institusionalization dalam diri masyarakat atau bahkan tertanam dalam jiwa mereka (internalized). sehingga hukum semakin efektif.
e.  Hubungan antara Para Penegak Hukum atau Pelaksana Hukum
Di Indonesia dikenal beberapa penegak hukum atau pelaksana hukum seperti; hakim , jaksa polisi, advokat dan lain sebagainya yang masing-masing mempuyai fungsi-fungsi sendiri-sendiri.
f.  Masalah Keadilan
Kadang-kadang keadilan didasarkan pada asas kesamarataan, kebutuhan dan tidak jarang pula dipergunakan asas kualifikasi serta asas obyektif yang melihat dari sudut prestasi seseorang, asas subyektif juga lazim diterapkan apabila yang dipermasalahkan adalah ketekunan untuk mencapai sesuatu tanpa melihat hasilnya.






BAB II
PENUTUP
A.  Kesimpulan
                Secara umum, sosiologi hukum diartikan sebagai kumpulan ilmu pengetahuan yang membahas mengenai hubungan antara manusia yang berkaitan dengan masalah hukum di tengah kehidupan masyarakat.
Ada beberapa permasalahan yang mendapat sorotan dari sosiologi hukum :
1.      Hukum dan sistem sosial Masyarakat
2.      Persamaan-persamaan dan perbedaan-perbedaan Sistem-sistem hukum
3.      Sifat sistem hukum yang dualistis
4.      Hukum dan Keuasaan
5.      Hukum dan nilai-nilai Sosial budaya
6.      Kepastian Hukum dan Kesebandingan
7.      Peranan Hukum sebagai alat mengubah Masyarakat
B.  Saran
Dalam penulisan makalah ini penulis yakin bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan, sehingga mengharapkan kepada para pembaca untuk memberikan kritik dan saran yang membangun agar penulis mendapatkan membelajaran baru. Dan semoga makalah ini dapat menjadi tempat mendapatkan ilmu pengetahuan baru.







DAFTAR PUSTAKA
Ali, Zainuddin. 2009. Sosiologi Hukum. Jakarta: Sinar Grafika.
Anwar, yesmil dan Adang, 2008. Pengantar Sosiologi Hukum. Jakarta: Gransindo.
Utsman, Sabian, 2009. Dasar-Dasar Sosiologi Hukum, Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Warassih, Esmi, 2005. Pranata Hukum: Sebuah Telaah Sosiologis, Semarang: Suryandaru Utama.