BAB V. KEBERADAAN HUKUM
DALAM MASYARAKAT DALAM KONTEKS PENAGAKAN HUKUM
A.
EFEKTIVITAS HUKUM DALAM MASYARAKAT
Seringkali kita mengetahui
bahwa di dalam masyarakat, hukum yang telah dibuat ternyata tidak efektif
didalamnya. Menurut Dr. Syamsuddin Pasamai, SH., MH., dalam bukunya Sosiologi
dan Sosiologi Hukum, persoalan efektifitas hukum mempunyai hubungan yang sangat
erat dengan persoalan penerapan, pelaksanaan dan penegakan hukum dalam
masyarakat demi tercapainya tujuan hukum. Artinya hukum benar-benar berlaku
secara filosofis, yuridis dan sosiologis.[2]
Dalam sosiologi hukum,
hukum memiliki fungsi sebagai sarana social control yaitu
upaya untuk mewujudkan kondisi seimbang di dalam masyarakat, yang bertujuan
terciptanya suatu keadaan yang serasi antara stabilitas dan perubahan di dalam
masyarakat. Selain itu hukum juga memiliki fungsi lain yaitu sebagai sarana social
engineering yang maksudnya adalah sebagai sarana pembaharuan dalam
masyarakat. Hukum dapat berperan dalam mengubah pola pemikiran masyarakat dari
pola pemikiran yang tradisional ke dalam pola pemikiran yang rasional atau
modern.
Efektivikasi hukum
merupakan proses yang bertujuan agar supaya hukum berlaku efektif. Keadaan
tersebut dapat ditinjau atas dasar beberapa tolok ukur efektivitas. Menurut
Soerjono Soekanto bahwa faktor tersebut ada lima, yaitu :
1. Hukumnya sendiri.
2. Penegak hukum.
3. Sarana dan fasilitas.
4. Masyarakat.
5. Kebudayaan.
Faktor Hukum
Hukum berfungsi untuk
keadilan, kepastian dan kemanfaatan. Dalam praktik penyelenggaraan hukum di
lapangan ada kalanya terjadi pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan.
Kepastian Hukum sifatnya konkret berwujud nyata, sedangkan keadilan bersifat
abstrak sehingga ketika seseorang hakim memutuskan suatu perkara secara
penerapan undang-undang saja maka ada kalanya nilai keadilan itu tidak
tercapai. Maka ketika melihat suatu permasalahan mengenai hukum setidaknya
keadilan menjadi prioritas utama. Karena hukum tidaklah semata-mata dilihat
dari sudut hukum tertulis saja, Masih banyak aturan-aturan yang hidup dalam
masyarakat yang mampu mengatur kehidupan masyarakat. Jika hukum tujuannya hanya
sekedar keadilan, maka kesulitannya karena keadilan itu bersifat subjektif,
sangat tergantung pada nilai-nilai intrinsik subjektif dari masing-masing
orang. Menurut Prof. Dr. Achmad Ali apa yang adil bagi si Baco belum tentu di
rasakan adil bagi si Sangkala.
Mengenai faktor hukum dalam hal ini dapat
diambil contoh pada pasal 363 KUHP yang perumusan tindak pidananya hanya
mencantumkan maksimumnya sajam, yaitu 7 tahun penjara sehingga hakim untuk
menentukan berat ringannya hukuman dimana ia dapat bergerak dalam batas-batas
maksimal hukuman.
Oleh karena itu, tidak menutup kemungkinan hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku kejahatan itu terlalu ringan, atau terlalu mencolok perbedaan antara tuntutan dengan pemidanaan yang dijatuhkan. Hal ini merupakan suatu penghambat dalam penegakan hukum tersebut.
Oleh karena itu, tidak menutup kemungkinan hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku kejahatan itu terlalu ringan, atau terlalu mencolok perbedaan antara tuntutan dengan pemidanaan yang dijatuhkan. Hal ini merupakan suatu penghambat dalam penegakan hukum tersebut.
Faktor Penegak Hukum
Dalam berfungsinya hukum,
mentalitas atau kepribadian petugas penegak hukum memainkan peranan penting,
kalau peraturan sudah baik, tetapi kualitas petugas kurang baik, ada masalah.
Oleh karena itu, salah satu kunci keberhasilan dalam penegakan hukum adalah
mentalitas atau kepribadian penegak hukum dengan mengutip pendapat J. E.
Sahetapy yang mengatakan :
“Dalam
rangka penegakan hukum dan implementasi penegakan hukum bahwa penegakan
keadilan tanpa kebenaran adalah suatu kebijakan. Penegakan kebenaran tanpa
kejujuran adalah suatu kemunafikan. Dalam kerangka penegakan hukum oleh setiap
lembaga penegakan hukum (inklusif manusianya) keadilan dan kebenaran harus
dinyatakan, harus terasa dan terlihat, harus diaktualisasikan”.[3]
Di
dalam konteks di atas yang menyangkut kepribadian dan mentalitas penegak hukum,
bahwa selama ini ada kecenderungan yang kuat di kalangan masyarakat untuk
mengartikan hukum sebagai petugas atau penegak hukum, artinya hukum
diidentikkan dengan tingkah laku nyata petugas atau penegak hukum. Sayangnya
dalam melaksanakan wewenangnya sering timbul persoalan karena sikap atau
perlakuan yang dipandang melampaui wewenang atau perbuatan lainnya yang
dianggap melunturkan citra dan wibawa penegak hukum, hal ini disebabkan oleh
kualitas yang rendah dari aparat penegak hukum tersebut.
Apalagi
seperti yang kita ketahui bersama terkait masalah persetruan dua lembaga
penegak hukum KPK dengan Kepolisian telah membuat citra aparaturnya menjadi
buruk dihadapan masyarakat. Ditambah pula dengan banyaknya kasus-kasus yang
seharusnya dihukum berat namun dapat diperingan karena dibantu oleh mafia
hukum, yaitu muali tingkat penyidikan di kepolisian hingga saat penuntutan di
kejaksaan dan putusan di kehakiman. Mental Para aparatur penegak hukum inilah
menjadi salah satu faktor dimana efektivitas hukum itu dapat terwujud, selama
kemapuan dan kewenangan mereka dapat dibeli, yang benar disalahkan dan yang
salah dibenarkan akan terjadi inefektivitas hukum dan mampu mengakibatkan
masyarakat tidak percaya lagi dengan penegak hukum bahkan hukumnya sendiri.
Kemudian
meurut Prof. Dr. Achmad Ali, SH., MH., dalam bukunya menjelajahi kajian empiris
terhadap hukum, disebutkan Polisilah yang berada pada garda terdepan. Karena
polisi yang paling banyak berhubungan langsung dengan warga masyarakat,
dibandingkan dengan penegak hukum lainnya. Oleh karena itu sikap dan
keteladanan personal kepolisian menjadi salah satu faktor dihargai atau
tidaknya mereka oleh warga masyarakat terhadap penegak hukum, yang cukup
berpengaruh terhadap ketaatan mereka. Olehnya itu, kualitas dan keberdayaan
Polisi menurut Prof. Dr. Achmad Ali, SH., MH., merupakan salah satu faktor yang
sangat menentukan efektif atau tidaknya ketentuan hukum yang berlaku.
Faktor Sarana dan Fasilitas
Sarana
yang ada di Indonesia sekarang ini memang diakui masing cukup tertinggal jika
dibandingkan dengan negara-negara maju yang memiliki sarana lengkap dan
teknologi canggih di dalam membantu menegakkan hukum. Menurut Soerjono Soekanto
dan Mustafa Abdullah pernah mengemukakan bahwa bagaimana polisi dapat bekerja
dengan baik, apabila tidak dilengkapi dengan kendaraan dan alat-alat komunikasi
yang proporsional. Oleh karena itu, sarana atau fasilitas mempunyai peranan
yang sangat penting di dalam penegakan hukum. Tanpa adanya sarana atau fasilitas
tersebut, tidak akan mungkin penegak hukum menyerasikan peranan yang seharusnya
dengan peranan yang aktual. Namun penulis berpendapat bahwa faktor ini tidaklah
menjadi fakor yang dominan untuk segera diperbaiki ketika ingin terwujudnya
suatu efektivitas hukum.
Faktor Masyarakat
Masyarakat
dalam hal ini menjadi suatu faktor yang cukup mempengaruhi juga didalam
efektivitas hukum. Apabila masyarakat tidak sadar hukum dan atau tidak patuh
hukum maka tidak ada keefektifan. Kesadaran hukum merupakan konsepsi abstrak
didalam diri manusia, tentang keserasian antara ketertiban dan ketentraman yang
dikehendaki atau sepantasnya. Kesadaran hukum sering dikaitkan dengan pentaatan
hukum, pembentukan hukum, dan efektivitas hukum. Kesadaran hukum merupakan
kesadaran atau nilai-nilai yang terdapat dalam manusia tentang hukum yang ada
atau tentang hukum yang diharapkan.[4]
Sebagai
contoh. Disuatu daerah Kabupaten L masyarakat tahu bahwa ketika berkendara di
jalan raya itu harus mengunakan helm untuk keselamatan, tapi masyarakat sekitar
tersebut tidak menghiraukan peraturan tersebut justru mereka tidak menggunakan
helm tersebut.
Selain
itu perlu ada pemerataan mengenai peraturan-peraturan keseluruh lapisan
masyarakat, selama ini terkendala faktor komunikasi maupun jarak banyak daerah
yang terpencil kurang mengetahui akan hukum positif negara ini. Sehingga
sosialisasi dan penyuluhan di daerah terpencil sangat dibutuhkan, berbeda dengan
kondisi daerah perkotaan yang mampu selalu up date berkaitan
dengan isu-isu strategis yang masih hangat.
Faktor Kebudayaan
Kebudayaan
menurut Soerjono Soekanto, mempunyai fungsi yang sangat besar bagi manusia dan
masyarakat, yaitu mengatur agar manusia dapat mengerti bagaimana seharusnya
bertindak, berbuat, dan menentukan sikapnya kalau mereka berhubungan dengan
orang lain. Dengan demikian, kebudayaan adalah suatu garis pokok tentang
perikelakuan yang menetapkan peraturan mengenai apa yang harus dilakukan, dan
apa yang dilarang.[5]
Kelima
faktor di atas saling berkaitan dengan eratnya, karena menjadi hal pokok dalam
penegakan hukum, serta sebagai tolok ukur dari efektifitas penegakan hukum.
Kelima faktor yang dikemukakan Soerjono Soekanto tersebut, tidak ada faktor
mana yang sangat dominan berpengaruh, semua faktor tersebut harus saling
mendukung untuk membentuk efektifitas hukum. Lebih baik lagi jika ada sistematika
dari kelima faktor ini, sehingga hukum dinilai dapat efektif.
Sistematika tersebut artinya untuk membangun efektifitas hukum harus diawali untuk mempertanyakan bagaimana hukumnya, kemudian disusul bagaimana penegak hukumnya, lalu bagaimana sarana dan fasilitas yang menunjang, kemudian bagaimana masyarakat merespon serta kebudayaan yang terbangun.
Sistematika tersebut artinya untuk membangun efektifitas hukum harus diawali untuk mempertanyakan bagaimana hukumnya, kemudian disusul bagaimana penegak hukumnya, lalu bagaimana sarana dan fasilitas yang menunjang, kemudian bagaimana masyarakat merespon serta kebudayaan yang terbangun.
B. Usaha-usaha Meningkatkan
Kesadaran Hukum Masyarakat
Kita
harus menyadari bahwa setelah mengetahui kesadaran hukum masyarakat dewasa ini,
yang menjadi tujuan kita hakikatnya bukanlah semata-mata sekedar meningkatkan
kesadaran hukum masyarakat, tetapi juga membina kesadaran hukum masyarakat.
Peningkatan
kesadaran hukum masyarakat pada dasarnya dapat dilakukan melalui dua cara,
yaitu dalam bentuk tindakan (action) dan pendidikan
(education). Berikut penjelasannya :
A. Tindakan
(action)
Tindakan penyadaran hukum pada masyarakat dapat dilakukan
berupa tindakan drastis, yaitu dengan memperberat ancaman hukuman atau dengan
lebih mangetatkan pengawasan ketaatan warga negara terhadap undang-undang. Cara
ini bersifat insidentil dan kejutan dan bukan merupakan tindakan yang tepat
untuk meningkatkan kesadaran hukum masyarakat
B. Pendidikan
(education)
Pendidikan dapat dilakukan
baik secara formal maupun nonformal. Hal yang perlu diperhatikan dan ditanamkan
dalam pendidikan formal/nonformal adalah pada pokoknya tentang bagaimana
menjadi warganegara yang baik, tentang apa hak serta kewajiban seorang warga
negara.
Menanamkan
kesadaran hukum berarti menanamkan nilai-nilai kebudayaan. Dan nilai-nilai
kebudayaan dapat dicapai dengan pendidikan. Oleh karena itu setelah mengetahui
kemungkinan sebab-sebab merosotnya kesadaran hukum masyarakat usaha pembinaan
yang efektif dan efesien ialah dengan pendidikan.
1. Pendidikan formal
Pendidikan sekolah
merupakan hal yang lumrah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Pendidikan
kesadaran hukum di sekolah harus dilakukan dari tingkat rendah/ TK sampai
jenjang pendidikan tinggi ( perguruan tinggi ).
1.a Tingkat TK
Di Taman Kanak-kanak sudah
tentu tidak mungkin ditanamkan pengertian-pengertian abstrak tentang hukum atau
disuruh menghafalkan undang-undang. Yang harus ditanamkan kepada murid Taman
Kanak-kanak ialah bagaimana berbuat baik terhadap teman sekelas atau orang
lain, bagaimana mentaati peraturan-peraturan yang dibuat oleh sekolah.
Yang
penting dalam pendidikan di Taman Kanak-kanak ialah menanamkan pada anak-anak
pengertian bahwa setiap orang harus berbuat baik dan bahwa larangan-larangan
tidak boleh dilanggar dan si pelanggar pasti menerima akibatnya
1.b Tingkat SD, SMP, dan SMA
Pada
tingkat ini perlu ditanamkan lebih intensif lagi: hak dan kewajiban warga
negara Indonesia, susunan negara kita, Pancasila dan Undang-undang Dasar,
pasal-pasal yang penting dari KUHP, bagaimana cara memperoleh perlindungan
hukum. Perlu diadakan peraturan-peraturan sekolah. Setiap pelanggar harus
ditindak. Untuk itu dan juga untuk menanamkan ”sense of justice” pada
murid-murid perlu dibentuk suatu ”dewan murid” dengan pengawasan guru yang akan
mengadili pelanggar-pelanggar terhadap peraturan sekolah. Di samping buku
pelajaran yang berhubungan dengan kesadaran hukum perlu diterbitkan juga
buku-buku bacaan yang berisi cerita-cerita yang heroik.
Secara
periodik perlu diadakan kampanye dalam bentuk pekan (pekan kesadaran hukum,
pekan lalu lintas dan sebagainya) yang diisi dengan perlombaan-perlombaan
(lomba mengarang, lomba membuat motto yang ada hubungannya dengan kesadaran
hukum), pemilihan warga negara teladan terutama dihubungkan dengan ketaatan
mematuhi peraturan-peraturan.
1.c Tingkat Perguruan
Tinggi
Perguruan Tinggi,
khususnya Fakultas Hukum mempunyi peranan penting dalam hal meningkatkan
kesadaran hukum masyarakat, karena di dalanya menghasilkan orang-orang yang
memiliki pendidikan hukum yang tinggi.
2. Pendidikan Non
Formal
Pendidikan
non formal ditujukan kepada masyarakat luas meliputi segala lapisan dalam masyarakat.
Pedidikan non formal dapat dilakukan dengan beberapa cara, antara lain :
penyuluhan hukum, kampanye,dan pameran. Berikut penjelasannya :
2.a Penyuluhan Hukum
Penyuluhan hukum adakah
kegiatan untuk meningkatkan kesadaran hukum masyarakat berupa penyampaian dan
penjelasan peraturan hukum kepada masyarakat dalam suasana informal agar setiap
masyarakat mengetahui dan memahami apa yang menjadi hak, kewajiban dan
wewenangnya, sehingga tercipta sikap dan prilaku berdasarkan hukum, yakni
disamping mengetahui, memahami, menghayati sekaligus mematuhi /mentaatinya.
Penyuluhan
hukum dapat dilakukan melalui dua cara : pertama, penyuluhan hukum langsung
yaitu kegiatan penyuluhan hukum berhadapan dengan masyarakat yang disuluh,
dapat berdialog dan bersambung rasa misalnya : ceramah, diskusi, temu, simulasi
dan sebagainya. Kedua, penyuluhan hukum tidak langsung yaitu kegiatan
penyuluhan hukum yang dilakukan tidak berhadapan dengan masyarakat yang
disuluh, melainkan melalui media/perantara,seperti : radio, televisi, video,
majalah, surat kabar, film,dan lain sebagainya.
Penyuluhan
hukum yang tidak langsung dalam bentuk bahan bacaan, terutama ceritera
bergambar atau strip yang bersifat heroik akan sangat membantu dalam
meningkatkan kesadaran hukum masyarakat. Buku pegangan yang berisi tentang hak
dan kewajiban warga negara Indonesia, susunan negara kita, Pancasila dan
Undang-undang Dasar, pasa-pasal yang penting dalam KUHP, bagaimana caranya
memperoleh perlindungan hukum perlu diterbitkan.
Penyuluhan
hukum bertujuan untuk mencapai kesadaran hukum yang tinggi dalam masyarakat,
sehingga setiap anggota masyarakat menyadari hak dan kewajibannya sebagai warga
Negara, dalam rangka tegaknya hukum, keadilan, perlindungan terhadap harkat dan
martabat manusia, ketertiban, ketentraman, dan terbentuknya perilaku warga
negara yang taat pada hukum.
2.b Kampanye
Kampanye peningkatan
kesadaran hukum masyarakat dilakukan secara terus menerus yang diisi
dengan kegiatan-kegiatan yang disusun dan direncanakan,seperti : ceramah,
berbagai macam perlombaan, pemilihan warga negara teladan dan lain sebagainya.
2.c Pameran
Suatu
pameran mempunyai fungsi yang informatif edukatif. Maka tidak dapat disangkal
peranannya yang positif dalam meningkatkan dan membina kesadaran hukum
masyarakat. Dalam pameran hendaknya disediakan buku vademecum, brochure serta
leaflets di samping diperlihatkan film, slide,VCD dan sebagainya yang merupakan
visualisasi kesadaran hukum yang akan memiliki daya tarik masyarakat yang
besar.
Dan
pada akhirnya dalam upaya mensukseskan peningkatan kesadaran hukum masyarakat
masih diperlukan partisipasi dari para pejabat dan pemimpin-pemimpin.
BAB VI
MASYARAKAT, HUKUM, DANPENELITIAN TERHADAPNYA
B. Penelitian Hukum
Seringkali
dikatakan orang bahwa penelitian hukum bukanlah penelitian ilmiah, karena hukum
merupakan suatu gejala yang berisfat normatif. Artinya, hukum telah menjadi
kaidah-kaidah yang mengatur tingkah laku manusia didalam pergaulan hidup,
sehingga sebelumnya telah ada hipotesis bahwa hukum itu benar. Padahal,
penelitian bertujuan untuk menggali kebenaran, sedangkan hukum sudah merupakan
kaidah-kaidah tentang tingkah laku yang benar.
Penelitian
hukum yang telah dilakukan oleh para sarjana ilmu-ilmu sosial tidaklah sedikit.
Pola-pola penelitian hukum tersebut, yang antara lain dikembangkan oleh para
sosiolog dan antropolog mencakup tiga pokok masalah sebagaimana dikatakan oleh
Karl Llewellyn serta E. Adamson Hoebel, sebagai berikut:
Pertama-tama
dapat dikemukakan, bahwa penelitian dengan masalah pertama sebagaimana
disebutkan oleh Karl Llewelyn dan E. Adamson Hoebel bertujuan untuk menyoroti
kaidah-kaidah ideal yang dianggap merupakan pencerminan dari hukum. Tujuannya
adalah untuk mengadakan sistematik ataus semacam kompilasi dari kaidah-kaidah
yang tergali dari penelitian tersebut. Yang dicari adalah kaidah-kaidah yang
telah mantap, tanpa meneliti apakah mungkin terjadi penyimpangan terhadap
kaidah-kaidah tersebut. Dengan kata lain, sama sekali tidak diperhatikan di
mana ada kemungkinan-kemungkinana bahwa kaidah-kaidah tadi akan mengalami suatu
tantanagn. Pendekatan ideologis ini menghasilkan abstarksi-abstraksi dengan
akibat kemungkinan besar yang dijumpai adalah kaidah-kaidah ideal yang didalam
kenyataan kehidupan sehari-hair tidak begitu berperan, kecuali apabila terjadi
pelanggaran yang sangat serius.
Pendekatan ideologis tersebut banyak
diterapkan oleh peneliti Jerman, seperti Post dan Kohler dan aliran ethnological
jurisprudence. C. Van Vollenhoven sedikit banyaknya telah mempergunakan
pendekatan ideologis terhadap hukum adat Indonesia. Pendekatan yang kemudian
diikuti oleh murid-muridnya.
Walaupun kasus-kasus hukum adat telah
dihimpun dalamadatrechtbundels dan banyak sarjana-sarjana Belanda
yang mengadakan penelitian khusus terhadap kasus-kasus yang ada, namun hasilnya
hanyalah merupakan suatu ulasan tentang penerapan dari hukum (adat) tertentu
atau untuk menguji hukum substantif yang berlaku terhadap acaranya. Walaupun
buku teks yang relatif lengkap tentang hukum adat Indonesia tidak memperhatikan
kasus-kasus hukum yang dapat dijadikan batu ujian terhadap kaidah-kaidah ideal
yang mantap dalam maysarakat. Di bawah pimpinan C Van Vollenhoven telah
diusahakan untk mengadakan himpunan kaidah-kaidah hukum adat didalam
kitab-kitab yang dinamakan pandecten van het adatrecht yang
terdiri dari 9 jilid (10 buku). Kesembilan jilid tersebut mencakup hal-hal
sebagai berikut :
- Hak ulayat atas tanah dan air
- Hak utama atas tanah dan hak untuk memungut hasil
- Hak milik dan hak pakai atas tanah
- Hak-hak lainnya atas tanah dan air
- Hukum waris
- Hukum perkawinan dan pertunangan
- Hukum tentang bentuk-bentuk perkawinan
- Hukum kekeluargaan (dalam arti sempit) dan perceraian
- Hukum utang piutang
- Hukum pidana adat, yaitu suatu bagian yang ditambahkan
oleh idema pada tahun 1936.
Contoh yang baik dari pendekatan deskriptif
adalah Ifagao Law dari Barton dan dari Rattary hasil karyanya
yang berjudul Ashanti Law And Constitution. Masing-masing hasil
karya tersebut merupakan monografi tentang masyarakat yang bersangkutan, dimana
masing-masing pengarang telah mengadakan hubungan yang lama dan erat dengan
warga dari masyarakat tersebut , sehingga laporannya sangat panjang dan
kebanyakan didasarkan pada catatan-catatan harian yang telah dibuat. Di dalam
laporan-laporan tersebut terdapat kaidah hukum, akan tetapi, seringkali
tenggelam dalam kenyataan hidup sehari-hari. Seorang sarjana lain juga
melakukan pendekatan deskriptif adalah Bronislaw Malinowski yang
terkenal dengan penelitiannya terhadap masyarakat Trobiand. Yang
dipelajari oleh Malinowski (yang ditulisnya dalam Crime And Costum In
Savage Society) adalah bagaimana kaidah-kaidah hukum menyesuaikan diri
denagn kehidupan sehari-hari, jadi bukan bagaimana manusia didalam tingkah
lakunya menyesuaikan diri dengan kaidah-kaidah hukum yang berlaku.
Bagi
dia, tingkah laku yang menyimpang lebih menonjol dari pada tindakan-tindakan
manusia untuk menyesuaikan dirinya dengan tindakan-tindakan manusia untuk
menyesuaikan dirinya dengan kaidah-kaidah hukum yang berlaku.
Pendekatan ketiga merupakan suatu pendekatan terhadap
kasus-kasus, terutama yang menyangkut persengketaan. Pendekatan yang lebih
menitik beratkan pada kasus-kasus yang lebih dikenal dengan sebutan Eclectic
Approach, lebih banyak bersifat induktif, artinya dari sekian banyaknya
permasalahan dan ketentuan-ketentuan khusus ditarik suatu dalil yang umum.
Kemudian, dalil-dalil umum tersebut diuji kembali terhadap masalah-masalah atau
kasus-kasus yang bersifat khusus. Pendekatan eclectic berbeda
dengan pendekatan ideologis dalam hal bahwa pendekatan ideologis memakai
kaidah-kaidah ideal sebagai titik tolak, sedangkan pendekatan eclectic
kaidah-kaidah umum merupakan hasil dari pendekatan tersebut. Sepanjang tentang
penelitian hukum adat Indonesia, sebagaimana dijelaskan dimuka, hasil karya
Soepomo yang Berjudul Het Adatprivaat Van Wst Java (1933) yang
secara terinci menguraikan hukum adat Jawa Barat menurut kasus-kasus yang
terjadi. Hasil karya Soepomo tadi mencakup hukum-hukum kekeluargaan,
perkawinan, waris tanah, utang piutang, dan pidana (yang disebutnya hukum
pelanggaran). Buku tersebut terutama dimaksudkan sebagai semacam buku pegangan
bagi para hakim, apabila menghadapi perkara-perkara adat. Bagaimana caranya
Soepomo menguraikan suatu kasus untuk kemudian menarik kesimpulan umum, antara
lain ternyata dari ketentuan bahwa sepanjang tentang hukum harta perkawinan,
harta bawaan tidak termasuk milik bersama. Untuk jelasnya dikutipkan keterangan
dalam buku Soepomo tadi, sebagai berikut:
Hukum
harta perkawinan.
Harta
bawaan tidak termasuk milik bersama.
Harta bawaan suami atau istri masing-masing
dalam perkawinan di Banten disebut barang sulur, didaerah hukum Jakarta
barang usaha (dari orang tua) dan didaerah lain di Jawa Barat,barang benda
barang asal, barang bawa, barang sasaka.
Dalam
penyelidikan setempat diseluruh wilayah hukum diberitahukan kepada kami, bahwa
barang benda, asal atau salur oleh desa atau daerah yang bersangkutan dipandang
semata-mata milik suami atau istri yang telah membawanya.
Hal
itu antara lain terbukti dari kenyataan diseluruh wilayah hukum, bilamana
seorang wanita membawa sebuah rumah, ternak atau sebidang tanah dalam
perkawinan, para tetangga dan teman-temannya dalam percakapan dan sebagainya
selalu menyebut barang itu kepunyaan wanita tersebut. Jika seseorang ingin
mengadakan perjanjian mengenai barang itu, ia akan menghubungi wanita tersebut
dan bila mana suaminya yang mengadakan pembicaraan ia berbuat demikian atas
nama istrinya.
Melihat
kelebihan-kelebihan dan kelemahan-kelemahan yang ada pada ketiga macam
pendekatan sebagaimana diuraikan, maka didalam mengadakan penelitian hukum
sebaiknya dipergunakan ketiga macam pendekatan tersebut dengan tekanan utama
pada salah satu pendekatan yang sangat tergantung pada titik berat penelitian.
Apabila yang diitik beratkan dalam suatu penelitian hukum adalah kaidah-kaidah
hukum yang umum, maka pendekatan ideologis merupakan alat utamanya,
sedangkan pendekatan-pendekatan lainnya dapat dipakai sebagai alat
pembantu atau alat penunjang.
C. Beberapa Pilihan Masalah Yang Dapat
Diteliti
Masalah-masalah
tersebut antara lain:
1. Kesadaran Hukum (Soerjono Soekanto
& S. Hutangalung 1972)
Apabila
hendak diadakan penggolongan antara individu-individu sebagai anggota
masyarakat dan individu-individu sebagai anggota masyarakat dan
individu-individu sebagai pejabat hukum, maka didalam setiap masyarakat
akan terdapat kesadaran hukum warga masyarakat disamping adanya
kesadaran hukum pejabat-pejabat hukum sepanjang mengenai peristiwa-peristiwa
tertentu. Seharusnya, demi kepastian karena perubahan-perubahan tersebut akan
mempunyai sasaran pelbagai unsur tradisional dari masyarakat.
Didalam
ilmu hukum dikenal dengan adanya beberapa pendapat tentang kesadaran hukum
tersebut. Diantara sekian banyaknya pendapat, terdapat suatu rumusan yang
menyatakan, bahwa sumber satu-satu hukum dan kekuatan mengikat adalah kesadaran
hukum masyarakat. Dikatakan kemudian, bahwa perasaan hukum dan keyakinan hukum
individu didalam masyarakat yang merupakan kesadaran hukum individu, merupakan
pangkal daripada kesadaran hukum masyarakat. Selanjutnya pendapat tersebut
menyatakan bahwa kesadaran hukum masyarakat adalah jumlah terbanyak dari
kesadaran-kesadaran hukum individu mengenai suatu peristiwa tertentu. Ada pula
pendapat yang menyatakan, bahwa hukum ditentukan dan tergantung pada
praktik-praktik sehari-hari daripada pejabat hukum, seperti hukum dan ketertiban
umum, kedua kesadaran hukum tersebut sejalan, akan tetapi, dalam kenyataannya
tidak selalu demikian prosesnya. Padahal, kepastian hukum dan ketertiban umum
selalu menuntut agar ketentuan-ketentuan hukum tertulis ditaati.
2. Hukum dan Sistem Sosial Masyarakat
Sebagaimana
dikatakan pada uraian-uraian terdahulu khususnya dalam bab I, maka tak ada
suatu keragaun bahwa sistem hukum merupakan pencerminan dari sitem sosial,
dimana sistem hukum tadi merupakan bagiannya. Jadi, sistem hukum seyogyanya
mencerminkan unsur-unsur kebudayan, kelompok-kelompok sosial, lembaga-lembaga
kemasyarakatan, lapisan-lapisan sosial, kekuasaan, dan wewenang, proses-proses
sosial maupun perubahan-perubahan sosial. Namun dapatkah perubahan-perubahan
didalam sistem hukum (yaitu terutama perubahan-perubahan yang menyangkut hukum
substantive maupun hukum ajektif) menyebabkan terjadinya perubahan-perubahan
sosial, atau paling tidak menunjang terjadinya perubahan-perubahan sosial
tersbeut? Sementara pendapat menyatakan bahwa hal itu tidak akan terjadi,
kecuali perubahan-perubahan didalam sistem hukum memang dimaksudkan untuk
mengadakan perubahan-perubahan sosial. Atau dengan kata lain, hukum dipakai
sebagai suatu sarana untuk mengubah masyarakat atau untuk mendorong terjadinya
perubahan-perubahan tersebut. Hal ini memerlukan penelitian yang lebih mendalam
dan yang seksama sekali.
3. Hukum dan Kepribadian
Penelitian
tentang hubungan antara hukum dengan kepribadian dapat ditemukan dalam pelbagai
disiplin seperti psikologi, sosiologi, antropologi, ilmu hukum, psikiatri, dan
kesejahteraan sosial. Biasanya diusahakan untuk menghubungkan salah satu aspek
hukum dengan unsur tertentu dari kepribadian. Secara umum dapat dikatakan bahwa
penelitian terhadap hubungan antara hukum dengan kepribadian dapat
dikelompokkan ke dalam 3 golongan, yaitu (James L. Gibbs. 1969:177)
- Sebab-sebab terjdainya pelanggaran terhadap
kaidah-kaidah hukum yang bersumber pada jiwa manusia.
- Usaha-usaha atau cara yang telah melembaga dan mendarah
daging, untuk menyelesaikan pelanggaran-pelanggaran terhadap kaidah-kaidah
hukum.
- Hasil-hasil dari tindakan yang telah melembaga untuk
menetralisasikan akibat pelanggaran terhadap kaidah-kaidah hukum.
4. Pendidikan Hukum
Perlunya
mengadakan penelitian terhadap pendidikan hukum adalah untuk mengetahui apakah
pendidikan tadi dapat memenuhi kebutuhan masyarakat akan orang-orang yang cukup
mampu untuk menduduki tempat dalam profesi hukum. Untuk mngetahui hal
itu, maka penelitian yang dilakukan tidak saja cukup atau terbatas pada
pendidikan hukum itu sendiri, akan tetapi perlu pula ditelaah apa yang menjadi
kebutuhan masyarakat. Betapa sukarnya penelitian semacam itu, kiranya tak akan
sukar untuk dibayangkan, peneliatian terhadap pendidikan hukum yang
diselenggarakan oleh bemacam-macam lembaga itu saja sudah sulit. Apabila ruang
lingkup dibatasi pada pendidikan hukum yang diselenggarakan oleh fakultas
hukum, itu pun tidak terlalu mudah untuk dilakukan. Hal ini antara lain
disebabkan karena banyaknya perubahan untuk dilakukan. Hal ini antara lain
disebabkan karena banyaknya perubahan yang telah dilakukan (terutama dibidang
kurikulum), namun hasilnya belum memuaskan, setidaknya dari sudut apa yang
diharapkan masyarakat.
Sistem
pendidikan hukum yang tergambar didalam kurikulum tersusun dalam bentuk
piramidal, dengan pengertian bahwa semakin tinggi tingkatannya semakin menjurus
pada pengkhususan dengan tujuan utama untuk menghasilkan sarjana-sarjana
generalis dan spesialis.
5. Pengendalian Sosial (Sosial Control)
Didalam
percakapan sehari-hari, pengendalian sosial atau sosial control seringkali
diberi arti sebagai pengawasan oleh masyarakat terhadap jalannya pemerintahan,
khususnya pemerintah beserta aparaturnya. Memang ada benarnya, bahwa
pengendalian sosial berarti suatu pengawasan dari masyrakat terhadap jalannya
pemerintahan. Akan tetapi, arti sebenarnya dari pengendalian sosial-sosial
tidak berhenti pada pengertian itu saja. Arti yang sesungguhnya dari pengendalian
sosial adalah jauh lebih luas, karena pengertian tersebut mencakup segala
proses, baik yang direncanakan, yang bersifat mendidik, mengajak atau bahkan
memaksa warga masyrakat agar patuh pada nilai-nilai dan kaidah-kaidah
kemasyarakatan yang berlaku. Jadi, pengendalian sosial dapat dilakukan oleh
individu terhadap individu lainnya, (misalnya seorang ibu mendidik anaknya agar
menyesuaikan diri terhadap nilai-nilai dan kaidah-kaidah yang berlaku) atau
mungkin dilakukan oleh individu terhadap suatu kelompok sosial.
Dengan
demikian, maka pengendalian sosial bertujuan untuk mencapai keseimbangan antara
stabilitas dengan perubahan untuk mencapai keseimbnagan antara stabilitas
dengan perubahan didalam masyarakat. Atau, apabila diterjemahkan kedalam bahasa
hukum, yang ingin dicapai dengan pengendalian sosial adalah suatu kedamaian
melalui keseimbangan antara kepastian hukum dengan kesebandingan. Maka, dari
sudut sifatnya dapat dikatakan bahwa pengendalian sosial dapat bersifat
preventif atau represif, atau bahkan kedua-duanya. Prevensi merupakan suatu
pencegahan terhadap terjadinya gangguan-gangguan pada keseimbangan antara
stabilitas dengan fleksibilitas, sedangkan usaha-usaha yang bersifat represif
bertujuan untuk mengembalikan keseimbangan yang pernah mengalami gangguan.
Usaha-usaha preventif, misalnya dijalankan melalui proses sosialisasi,
pendidikan formal dan informal, dan seterusnya, sedangkan usaha-usaha represif
pada umumnya berwujud sebagai dijatuhkannya sanksi-sanksi negative terhadap
warga masyarakat yang melanggar atau menyimpang dari nilai dan kaidah yang
berlaku dimasyarakat.
Suatu
proses pengendalian sosial dapat dilaksanakan dengan pelbagai cara yang pada
pokoknya berkisar pada cara-cara tanpa kekerasan (persuasive) ataupun dengan
paksaan (coercive). Cara mana yang sebaiknya diterapkan, sedikit banyaknya juga
tergantung pada faktor terhadap siapa pengendalian sosial hendak dilakukan dan
didalam situasi yang bagaimana.
6. Masalah Keadilan, (Dalam Arti
Kesebandingan)
Hal
ini terutama disebabkan karena pada umumnya orang beranggapan bahwa hukum
mempunyai dua tugas utama, yakni mencapai suatu kepastian hukum serta mencapai
kesebandingan bagi semua masyarakat. Masalah kepastian hukum maupun
kesebandingan hingga kini masih merupakan masalah yang sulit terpecahkan.
Masyarakat
Indonesia yang terdiri dari bermacam-macam suku bangsa mempunyai pelbagai
pola-pola pemikiran tentang keadilan, yang mana ditentukan oleh lingkungan dan
nilai-nilai sosialnya.
Konsepsi-konsepsi
tentang kesebandingan pada hakikatnya berakar didalam kondisi yang pada suatu
waktu tertentu diingini oleh masyarakat bersangkutan. Dan biasanya, konsepsi
tentang kesebandingan baru menonjol atau timbul apabila warga masyarakat
dihadapkan pada hal-hal yang dirasakan tidak adil.
7. Hukum Pendapat Umum
Didalam
menganalisa suatu sistem hukum adalah penting untuk mengetahui hubungan timbal
balik antara hukum dengan pendapat umum. Hubungan tersebut sangat penting
terutama bagi penelitian terhadap hukum yang hidup sebagai dasar yang efektif
bagi pembentukan hukum. Apabila ingin disoroti tentang efektifitas dari
peraturan-peraturan hukum tertentu, maka terlebih dahulu perlu diketahui
tujuan utama dari peraturan-peraturan hukum tersebut.
Penelitian
terhadap hubungan timbal balik antara hukum dengan pendapat umum banyak
dilakukan dinegara-negara lain. Misalnya di Inggris dan Amerika Serikat.
Suatu masalah lain terjadi sewaktu American
Law Institutemerencanakan model kitab undang-undang hukum pidana.
Perdebatan-perdebatan yang sengit timbul tentang apakah homoseks merupakan
tindak pidana atau tidak. Perdebatan-perdebatan tersbeut baru berakhir setelah
diadakan pemungutan suara (dimana homoseks dianggap bukan merupakan tindak
pidana) dan tidak perlu terjadi apabila diketahi pendapat umum tentang hal itu.
8. Peranan Kalangan Hukum Profesional
Yang
dimaksudkan dengan ahli hukum adalah orang-orang yang secara profesional hidup
dari keahliannya dibidang hukum, misalnya pengacara, notaris. Menurut
Rueschemeyer. Jadi kalangan hukum professional dianggap mempunyai
keahlian-keahlian khusus yang tidak dipunyai warga masyrakat lainnya, sehingga
apabila ada masalah-masalah hukum, para ahli hukum dianggap sebagai ahli untuk
mengatasinya.
Selain itu, perlu pula diketahui pembatasan
peranan antara pelbagai keahlian hukum tersebut. Misalnya, seorang notaris
mempunyai peranan tertentu yang tidak dipunyai oleh seorang pengacara dan
sebaliknya, walaupun disana-sini ada persamaan-persamaan yaitu keduanya
memberikan konsultasi, memerlukan kepercayaan kliennya, meningkatkan kepastian
hukum, dan seterusnya. Tentang peranaan notaris dengan jelas dinyatakan dalam
pasal 1 Reglemnt Of Het Notaries Ambt Ini Indonesia, yang isinya adalah
yang pokok dari pasal tersebut adalah notaris merupakan pejabat umum yang
diberi wewenang khusus untuk membuat akte-akte otentik. Apabila peranan notaris
diperbandingkan dengan peranan pengacara, maka dapat dikemukakan bahwa seorang
notaris mengabdi kepada kepentingan kedua belah pihak, manakala seorang
pengacara hanya mengabdi kepada kepentingan kliennya serta berkewajiban untuk
memenangkan hak klien atas hak lawannya. Seorang notaris harus berikhtiar
sedemikian rupa sehingga kedua belah pihak merasa puas. Dengan demikian, maka
seorang notaris pada pokoknya bertujuan untuk menghindarkan timbulnya sengketa,
sedang seorang pengacara bertujuan untuk menyelesaikan sengketa yang telah
timbul.
9. Penegak Hukum
Penegakkan
hukum tersebut mencakup lembaga-lembaga yang menerapkannya (misalnya
pengadilan, kejaksaan, kepolisian), pejabat-pejabat yang memegang peranan
sebagai pelaksana atau penegak hukum (misalnya para hakim, jaksa, polisi), dan
segi-segi administrative (seperti misalnya proses peradilan, pengusutan,
penahanan, dan seterusnya).
Penelitian
tentang peranan dan tugas-tugas polisi kurang sekali dilakukan terutama di
Indonesia, terutama apabila dilihat dari segi publikasi yang dapat diperoleh
tentang hal itu. Di negara-negara lain, peranan dan tugas-tugas polisi ini
mendapat sorotan yang cukup tajam terutama dari para sosiolog. Suatu penelitian
tentang polisi Amerika Serikat (secara umum) pernah dilakukan oleh Jerome H.
Skolnick. Penelitian tersebut antara lain bertujuan untuk menjawab
pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut :
a.
Untuk kepentingan sosial apakah polisi itu harus ada?
b.
Nilai-nilai apakah yang dijalankn oleh polisi didalam suatu negara yang
demokratis?
c.
Apakah secara principal polisi merupakan suatu alat pengendalian sosial (sosial
control) dengan tugas terpokoknya untuk melaksanakan kaidah-kaidah hukum secara
efektif dan efisien?
d. Apakah
polisi merupakan suatu lembaga yang mempunyai ikatan kuat dengan rule
of law, walaupun ada kemungkinan bahwa keadaan tadi mengurangi ketertiban
sosial?
e.
Sampai sejauh manakan dilema yang dihadapi oleh masyarakat dinamis, yaitu
dilema antara oreder dan legality menghalangi kemampuan polisi didalam
menjalankan tugasnya?
Dengan menggunakan sosiologi hukum dan
filsafat hukum, Skolnick berkesimpulan, bahwa polisi di negara-negara yang
demokratis bertugas untuk memelihara tata tertib di bawah naungan rule
of law.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar