Sabtu, 16 Juli 2016

Lanjutan bab 5 dan 6

BAB V. KEBERADAAN HUKUM DALAM MASYARAKAT DALAM KONTEKS PENAGAKAN HUKUM

A.    EFEKTIVITAS HUKUM DALAM MASYARAKAT
Seringkali kita mengetahui bahwa di dalam masyarakat, hukum yang telah dibuat ternyata tidak efektif didalamnya. Menurut Dr. Syamsuddin Pasamai, SH., MH., dalam bukunya Sosiologi dan Sosiologi Hukum, persoalan efektifitas hukum mempunyai hubungan yang sangat erat dengan persoalan penerapan, pelaksanaan dan penegakan hukum dalam masyarakat demi tercapainya tujuan hukum. Artinya hukum benar-benar berlaku secara filosofis, yuridis dan sosiologis.[2]
Dalam sosiologi hukum, hukum memiliki fungsi sebagai sarana social control yaitu upaya untuk mewujudkan kondisi seimbang di dalam masyarakat, yang bertujuan terciptanya suatu keadaan yang serasi antara stabilitas dan perubahan di dalam masyarakat. Selain itu hukum juga memiliki fungsi lain yaitu sebagai sarana social engineering yang maksudnya adalah sebagai sarana pembaharuan dalam masyarakat. Hukum dapat berperan dalam mengubah pola pemikiran masyarakat dari pola pemikiran yang tradisional ke dalam pola pemikiran yang rasional atau modern.
Efektivikasi hukum merupakan proses yang bertujuan agar supaya hukum berlaku efektif. Keadaan tersebut dapat ditinjau atas dasar beberapa tolok ukur efektivitas. Menurut Soerjono Soekanto bahwa faktor tersebut ada lima, yaitu :
1. Hukumnya sendiri.
2. Penegak hukum.
3. Sarana dan fasilitas.
4. Masyarakat.
5. Kebudayaan.

Faktor Hukum
Hukum berfungsi untuk keadilan, kepastian dan kemanfaatan. Dalam praktik penyelenggaraan hukum di lapangan ada kalanya terjadi pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan. Kepastian Hukum sifatnya konkret berwujud nyata, sedangkan keadilan bersifat abstrak sehingga ketika seseorang hakim memutuskan suatu perkara secara penerapan undang-undang saja maka ada kalanya nilai keadilan itu tidak tercapai. Maka ketika melihat suatu permasalahan mengenai hukum setidaknya keadilan menjadi prioritas utama. Karena hukum tidaklah semata-mata dilihat dari sudut hukum tertulis saja, Masih banyak aturan-aturan yang hidup dalam masyarakat yang mampu mengatur kehidupan masyarakat. Jika hukum tujuannya hanya sekedar keadilan, maka kesulitannya karena keadilan itu bersifat subjektif, sangat tergantung pada nilai-nilai intrinsik subjektif dari masing-masing orang. Menurut Prof. Dr. Achmad Ali apa yang adil bagi si Baco belum tentu di rasakan adil bagi si Sangkala.
Mengenai faktor hukum dalam hal ini dapat diambil contoh pada pasal 363 KUHP yang perumusan tindak pidananya hanya mencantumkan maksimumnya sajam, yaitu 7 tahun penjara sehingga hakim untuk menentukan berat ringannya hukuman dimana ia dapat bergerak dalam batas-batas maksimal hukuman.
Oleh karena itu, tidak menutup kemungkinan hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku kejahatan itu terlalu ringan, atau terlalu mencolok perbedaan antara tuntutan dengan pemidanaan yang dijatuhkan. Hal ini merupakan suatu penghambat dalam penegakan hukum tersebut.

Faktor Penegak Hukum
Dalam berfungsinya hukum, mentalitas atau kepribadian petugas penegak hukum memainkan peranan penting, kalau peraturan sudah baik, tetapi kualitas petugas kurang baik, ada masalah. Oleh karena itu, salah satu kunci keberhasilan dalam penegakan hukum adalah mentalitas atau kepribadian penegak hukum dengan mengutip pendapat J. E. Sahetapy yang mengatakan :
Dalam rangka penegakan hukum dan implementasi penegakan hukum bahwa penegakan keadilan tanpa kebenaran adalah suatu kebijakan. Penegakan kebenaran tanpa kejujuran adalah suatu kemunafikan. Dalam kerangka penegakan hukum oleh setiap lembaga penegakan hukum (inklusif manusianya) keadilan dan kebenaran harus dinyatakan, harus terasa dan terlihat, harus diaktualisasikan”.[3]
Di dalam konteks di atas yang menyangkut kepribadian dan mentalitas penegak hukum, bahwa selama ini ada kecenderungan yang kuat di kalangan masyarakat untuk mengartikan hukum sebagai petugas atau penegak hukum, artinya hukum diidentikkan dengan tingkah laku nyata petugas atau penegak hukum. Sayangnya dalam melaksanakan wewenangnya sering timbul persoalan karena sikap atau perlakuan yang dipandang melampaui wewenang atau perbuatan lainnya yang dianggap melunturkan citra dan wibawa penegak hukum, hal ini disebabkan oleh kualitas yang rendah dari aparat penegak hukum tersebut.
Apalagi seperti yang kita ketahui bersama terkait masalah persetruan dua lembaga penegak hukum KPK dengan Kepolisian telah membuat citra aparaturnya menjadi buruk dihadapan masyarakat. Ditambah pula dengan banyaknya kasus-kasus yang seharusnya dihukum berat namun dapat diperingan karena dibantu oleh mafia hukum, yaitu muali tingkat penyidikan di kepolisian hingga saat penuntutan di kejaksaan dan putusan di kehakiman. Mental Para aparatur penegak hukum inilah menjadi salah satu faktor dimana efektivitas hukum itu dapat terwujud, selama kemapuan dan kewenangan mereka dapat dibeli, yang benar disalahkan dan yang salah dibenarkan akan terjadi inefektivitas hukum dan mampu mengakibatkan masyarakat tidak percaya lagi dengan penegak hukum bahkan hukumnya sendiri.
Kemudian meurut Prof. Dr. Achmad Ali, SH., MH., dalam bukunya menjelajahi kajian empiris terhadap hukum, disebutkan Polisilah yang berada pada garda terdepan. Karena polisi yang paling banyak berhubungan langsung dengan warga masyarakat, dibandingkan dengan penegak hukum lainnya. Oleh karena itu sikap dan keteladanan personal kepolisian menjadi salah satu faktor dihargai atau tidaknya mereka oleh warga masyarakat terhadap penegak hukum, yang cukup berpengaruh terhadap ketaatan mereka. Olehnya itu, kualitas dan keberdayaan Polisi menurut Prof. Dr. Achmad Ali, SH., MH., merupakan salah satu faktor yang sangat menentukan efektif atau tidaknya ketentuan hukum yang berlaku.
Faktor Sarana dan Fasilitas
Sarana yang ada di Indonesia sekarang ini memang diakui masing cukup tertinggal jika dibandingkan dengan negara-negara maju yang memiliki sarana lengkap dan teknologi canggih di dalam membantu menegakkan hukum. Menurut Soerjono Soekanto dan Mustafa Abdullah pernah mengemukakan bahwa bagaimana polisi dapat bekerja dengan baik, apabila tidak dilengkapi dengan kendaraan dan alat-alat komunikasi yang proporsional. Oleh karena itu, sarana atau fasilitas mempunyai peranan yang sangat penting di dalam penegakan hukum. Tanpa adanya sarana atau fasilitas tersebut, tidak akan mungkin penegak hukum menyerasikan peranan yang seharusnya dengan peranan yang aktual. Namun penulis berpendapat bahwa faktor ini tidaklah menjadi fakor yang dominan untuk segera diperbaiki ketika ingin terwujudnya suatu efektivitas hukum.
 Faktor Masyarakat
Masyarakat dalam hal ini menjadi suatu faktor yang cukup mempengaruhi juga didalam efektivitas hukum. Apabila masyarakat tidak sadar hukum dan atau tidak patuh hukum maka tidak ada keefektifan. Kesadaran hukum merupakan konsepsi abstrak didalam diri manusia, tentang keserasian antara ketertiban dan ketentraman yang dikehendaki atau sepantasnya. Kesadaran hukum sering dikaitkan dengan pentaatan hukum, pembentukan hukum, dan efektivitas hukum. Kesadaran hukum merupakan kesadaran atau nilai-nilai yang terdapat dalam manusia tentang hukum yang ada atau tentang hukum yang diharapkan.[4]
Sebagai contoh. Disuatu daerah Kabupaten L masyarakat tahu bahwa ketika berkendara di jalan raya itu harus mengunakan helm untuk keselamatan, tapi masyarakat sekitar tersebut tidak menghiraukan peraturan tersebut justru mereka tidak menggunakan helm tersebut.
Selain itu perlu ada pemerataan mengenai peraturan-peraturan keseluruh lapisan masyarakat, selama ini terkendala faktor komunikasi maupun jarak banyak daerah yang terpencil kurang mengetahui akan hukum positif negara ini. Sehingga sosialisasi dan penyuluhan di daerah terpencil sangat dibutuhkan, berbeda dengan kondisi daerah perkotaan yang mampu selalu up date berkaitan dengan isu-isu strategis yang masih hangat.
Faktor Kebudayaan
Kebudayaan menurut Soerjono Soekanto, mempunyai fungsi yang sangat besar bagi manusia dan masyarakat, yaitu mengatur agar manusia dapat mengerti bagaimana seharusnya bertindak, berbuat, dan menentukan sikapnya kalau mereka berhubungan dengan orang lain. Dengan demikian, kebudayaan adalah suatu garis pokok tentang perikelakuan yang menetapkan peraturan mengenai apa yang harus dilakukan, dan apa yang dilarang.[5]
 Kelima faktor di atas saling berkaitan dengan eratnya, karena menjadi hal pokok dalam penegakan hukum, serta sebagai tolok ukur dari efektifitas penegakan hukum. Kelima faktor yang dikemukakan Soerjono Soekanto tersebut, tidak ada faktor mana yang sangat dominan berpengaruh, semua faktor tersebut harus saling mendukung untuk membentuk efektifitas hukum. Lebih baik lagi jika ada sistematika dari kelima faktor ini, sehingga  hukum dinilai dapat efektif.
Sistematika tersebut artinya untuk membangun efektifitas hukum harus diawali untuk mempertanyakan bagaimana hukumnya, kemudian disusul bagaimana penegak hukumnya, lalu bagaimana sarana dan fasilitas yang menunjang, kemudian bagaimana masyarakat merespon serta kebudayaan yang terbangun.

B.      Usaha-usaha Meningkatkan Kesadaran Hukum Masyarakat
       Kita harus menyadari bahwa setelah mengetahui kesadaran hukum masyarakat dewasa ini, yang menjadi tujuan kita hakikatnya bukanlah semata-mata sekedar meningkatkan kesadaran hukum masyarakat, tetapi juga membina kesadaran hukum masyarakat.
       Peningkatan kesadaran hukum masyarakat pada dasarnya dapat dilakukan melalui dua cara, yaitu dalam bentuk tindakan (action) dan pendidikan (education). Berikut penjelasannya :

A.   Tindakan (action)
       Tindakan penyadaran hukum pada masyarakat dapat dilakukan berupa tindakan drastis, yaitu dengan memperberat ancaman hukuman atau dengan lebih mangetatkan pengawasan ketaatan warga negara terhadap undang-undang. Cara ini bersifat insidentil dan kejutan dan bukan merupakan tindakan yang tepat untuk meningkatkan kesadaran hukum masyarakat

B.   Pendidikan (education)
       Pendidikan dapat dilakukan baik secara formal maupun nonformal. Hal yang perlu diperhatikan dan ditanamkan dalam pendidikan formal/nonformal adalah pada pokoknya tentang bagaimana menjadi warganegara yang baik, tentang apa hak serta kewajiban seorang warga negara.
       Menanamkan kesadaran hukum berarti menanamkan nilai-nilai kebudayaan. Dan nilai-nilai kebudayaan dapat dicapai dengan pendidikan. Oleh karena itu setelah mengetahui kemungkinan sebab-sebab merosotnya kesadaran hukum masyarakat usaha pembinaan yang  efektif dan efesien ialah dengan pendidikan.

1.    Pendidikan formal
       Pendidikan sekolah merupakan hal yang lumrah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Pendidikan kesadaran hukum di sekolah harus dilakukan dari tingkat rendah/ TK sampai jenjang pendidikan tinggi ( perguruan tinggi ).

1.a   Tingkat TK
       Di Taman Kanak-kanak sudah tentu tidak mungkin ditanamkan pengertian-pengertian abstrak tentang hukum atau disuruh menghafalkan undang-undang. Yang harus ditanamkan kepada murid Taman Kanak-kanak ialah bagaimana berbuat baik terhadap teman sekelas atau orang lain, bagaimana mentaati peraturan-peraturan yang dibuat oleh sekolah.
      Yang penting dalam pendidikan di Taman Kanak-kanak ialah menanamkan pada anak-anak pengertian bahwa setiap orang harus berbuat baik dan bahwa larangan-larangan tidak boleh dilanggar dan si pelanggar pasti menerima akibatnya

1.b  Tingkat SD, SMP, dan SMA
       Pada tingkat ini perlu ditanamkan lebih intensif lagi: hak dan kewajiban warga negara Indonesia, susunan negara kita, Pancasila dan Undang-undang Dasar, pasal-pasal yang penting dari KUHP, bagaimana cara memperoleh perlindungan hukum. Perlu diadakan peraturan-peraturan sekolah. Setiap pelanggar harus ditindak. Untuk itu dan juga untuk menanamkan ”sense of justice” pada murid-murid perlu dibentuk suatu ”dewan murid” dengan pengawasan guru yang akan mengadili pelanggar-pelanggar terhadap peraturan sekolah. Di samping buku pelajaran yang berhubungan dengan kesadaran hukum perlu diterbitkan juga buku-buku bacaan yang berisi cerita-cerita yang heroik.
            Secara periodik perlu diadakan kampanye dalam bentuk pekan (pekan kesadaran hukum, pekan lalu lintas dan sebagainya) yang diisi dengan perlombaan-perlombaan (lomba mengarang, lomba membuat motto yang ada hubungannya dengan kesadaran hukum), pemilihan warga negara teladan terutama dihubungkan dengan ketaatan mematuhi peraturan-peraturan.


1.c Tingkat Perguruan Tinggi
           Perguruan Tinggi, khususnya Fakultas Hukum mempunyi peranan penting dalam hal meningkatkan kesadaran hukum masyarakat, karena di dalanya menghasilkan orang-orang yang memiliki pendidikan hukum yang tinggi.

2.    Pendidikan Non Formal
        Pendidikan non formal ditujukan kepada masyarakat luas meliputi segala lapisan dalam masyarakat. Pedidikan non formal dapat dilakukan dengan beberapa cara, antara lain : penyuluhan hukum, kampanye,dan pameran. Berikut penjelasannya :

2.a  Penyuluhan Hukum
       Penyuluhan hukum adakah kegiatan untuk meningkatkan kesadaran hukum masyarakat berupa penyampaian dan penjelasan peraturan hukum kepada masyarakat dalam suasana informal agar setiap masyarakat mengetahui dan memahami apa yang menjadi hak, kewajiban dan wewenangnya, sehingga tercipta sikap dan prilaku berdasarkan hukum, yakni disamping mengetahui, memahami, menghayati sekaligus mematuhi /mentaatinya.
            Penyuluhan hukum dapat dilakukan melalui dua cara : pertama, penyuluhan hukum langsung yaitu kegiatan penyuluhan hukum berhadapan dengan masyarakat yang disuluh, dapat berdialog dan bersambung rasa misalnya : ceramah, diskusi, temu, simulasi dan sebagainya. Kedua, penyuluhan hukum tidak langsung yaitu kegiatan penyuluhan hukum yang dilakukan tidak berhadapan dengan masyarakat yang disuluh, melainkan melalui media/perantara,seperti : radio, televisi, video, majalah, surat kabar, film,dan lain sebagainya.
      Penyuluhan hukum yang tidak langsung dalam bentuk bahan bacaan, terutama ceritera bergambar atau strip yang bersifat heroik akan sangat membantu dalam meningkatkan kesadaran hukum masyarakat. Buku pegangan yang berisi tentang hak dan kewajiban warga negara Indonesia, susunan negara kita, Pancasila dan Undang-undang Dasar, pasa-pasal yang penting dalam KUHP, bagaimana caranya memperoleh perlindungan hukum perlu diterbitkan.
     Penyuluhan hukum bertujuan untuk mencapai kesadaran hukum yang tinggi dalam masyarakat, sehingga setiap anggota masyarakat menyadari hak dan kewajibannya sebagai warga Negara, dalam rangka tegaknya hukum, keadilan, perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia, ketertiban, ketentraman, dan terbentuknya perilaku warga negara yang taat pada hukum.

2.b   Kampanye    
        Kampanye peningkatan kesadaran hukum masyarakat dilakukan secara terus menerus  yang diisi dengan kegiatan-kegiatan yang disusun dan direncanakan,seperti : ceramah, berbagai macam perlombaan, pemilihan warga negara teladan dan lain sebagainya.

2.c   Pameran
       Suatu pameran mempunyai fungsi yang informatif edukatif. Maka tidak dapat disangkal peranannya yang positif dalam meningkatkan dan membina kesadaran hukum masyarakat. Dalam pameran hendaknya disediakan buku vademecum, brochure serta leaflets di samping diperlihatkan film, slide,VCD dan sebagainya yang merupakan visualisasi kesadaran hukum yang akan memiliki daya tarik masyarakat yang besar.
       Dan pada akhirnya dalam upaya mensukseskan peningkatan kesadaran hukum masyarakat masih diperlukan partisipasi dari para pejabat dan pemimpin-pemimpin.


BAB VI
MASYARAKAT, HUKUM, DANPENELITIAN TERHADAPNYA
B. Penelitian Hukum
Seringkali dikatakan orang bahwa penelitian hukum bukanlah penelitian ilmiah, karena hukum merupakan suatu gejala yang berisfat normatif. Artinya, hukum telah menjadi kaidah-kaidah yang mengatur tingkah laku manusia didalam pergaulan hidup, sehingga sebelumnya telah ada hipotesis bahwa hukum itu benar. Padahal, penelitian bertujuan untuk menggali kebenaran, sedangkan hukum sudah merupakan kaidah-kaidah tentang tingkah laku yang benar.
Penelitian hukum yang telah dilakukan oleh para sarjana ilmu-ilmu sosial tidaklah sedikit. Pola-pola penelitian hukum tersebut, yang antara lain dikembangkan oleh para sosiolog dan antropolog mencakup tiga pokok masalah sebagaimana dikatakan oleh Karl Llewellyn serta E. Adamson Hoebel, sebagai berikut:
Pertama-tama dapat dikemukakan, bahwa penelitian dengan masalah pertama sebagaimana disebutkan oleh Karl Llewelyn dan E. Adamson Hoebel bertujuan untuk menyoroti kaidah-kaidah ideal yang dianggap merupakan pencerminan dari hukum. Tujuannya adalah untuk mengadakan sistematik ataus semacam kompilasi dari kaidah-kaidah yang tergali dari penelitian tersebut. Yang dicari adalah kaidah-kaidah yang telah mantap, tanpa meneliti apakah mungkin terjadi penyimpangan terhadap kaidah-kaidah tersebut. Dengan kata lain, sama sekali tidak diperhatikan di mana ada kemungkinan-kemungkinana bahwa kaidah-kaidah tadi akan mengalami suatu tantanagn. Pendekatan ideologis ini menghasilkan abstarksi-abstraksi dengan akibat kemungkinan besar yang dijumpai adalah kaidah-kaidah ideal yang didalam kenyataan kehidupan sehari-hair tidak begitu berperan, kecuali apabila terjadi pelanggaran yang sangat serius.
Pendekatan ideologis tersebut banyak diterapkan oleh peneliti Jerman, seperti Post dan Kohler dan aliran ethnological jurisprudence. C. Van Vollenhoven sedikit banyaknya telah mempergunakan pendekatan ideologis terhadap hukum adat Indonesia. Pendekatan yang kemudian diikuti oleh murid-muridnya.
Walaupun kasus-kasus hukum adat telah dihimpun dalamadatrechtbundels dan banyak sarjana-sarjana Belanda yang mengadakan penelitian khusus terhadap kasus-kasus yang ada, namun hasilnya hanyalah merupakan suatu ulasan tentang penerapan dari hukum (adat) tertentu atau untuk menguji hukum substantif yang berlaku terhadap acaranya. Walaupun buku teks yang relatif lengkap tentang hukum adat Indonesia tidak memperhatikan kasus-kasus hukum yang dapat dijadikan batu ujian terhadap kaidah-kaidah ideal yang mantap  dalam maysarakat. Di bawah pimpinan C Van Vollenhoven telah diusahakan untk mengadakan himpunan kaidah-kaidah hukum adat didalam kitab-kitab yang dinamakan pandecten van het adatrecht yang terdiri dari 9 jilid (10 buku). Kesembilan jilid tersebut mencakup hal-hal sebagai berikut :
  1. Hak ulayat atas tanah dan air
  2. Hak utama atas tanah dan hak untuk memungut hasil
  3. Hak milik dan hak pakai atas tanah
  4. Hak-hak lainnya atas tanah dan air
  5. Hukum waris
  6. Hukum perkawinan dan pertunangan
  7. Hukum tentang bentuk-bentuk perkawinan
  8. Hukum kekeluargaan (dalam arti sempit) dan perceraian
  9. Hukum utang piutang
  10. Hukum pidana adat, yaitu suatu bagian yang ditambahkan oleh idema pada tahun 1936.
Contoh yang baik dari pendekatan deskriptif adalah Ifagao Law dari Barton dan dari Rattary hasil karyanya yang berjudul Ashanti Law And Constitution. Masing-masing hasil karya tersebut merupakan monografi tentang masyarakat yang bersangkutan, dimana masing-masing pengarang telah mengadakan hubungan yang lama dan erat dengan warga dari masyarakat tersebut , sehingga laporannya sangat panjang dan kebanyakan didasarkan pada catatan-catatan harian yang telah dibuat. Di dalam laporan-laporan tersebut terdapat kaidah hukum, akan tetapi, seringkali tenggelam dalam kenyataan hidup sehari-hari. Seorang sarjana lain juga melakukan pendekatan deskriptif adalah Bronislaw Malinowski yang terkenal dengan penelitiannya terhadap masyarakat Trobiand. Yang dipelajari oleh Malinowski (yang ditulisnya dalam Crime And Costum In Savage Society) adalah bagaimana kaidah-kaidah hukum menyesuaikan diri denagn kehidupan sehari-hari, jadi bukan bagaimana manusia didalam tingkah lakunya menyesuaikan diri dengan kaidah-kaidah hukum yang berlaku.
Bagi dia, tingkah laku yang menyimpang lebih menonjol dari pada tindakan-tindakan manusia untuk menyesuaikan dirinya dengan tindakan-tindakan manusia untuk menyesuaikan dirinya dengan kaidah-kaidah hukum yang berlaku.
Pendekatan ketiga merupakan suatu pendekatan terhadap kasus-kasus, terutama yang menyangkut persengketaan. Pendekatan yang lebih menitik beratkan pada kasus-kasus yang lebih dikenal dengan sebutan Eclectic Approach, lebih banyak bersifat induktif, artinya dari sekian banyaknya permasalahan dan ketentuan-ketentuan khusus ditarik suatu dalil yang umum. Kemudian, dalil-dalil umum tersebut diuji kembali terhadap masalah-masalah atau kasus-kasus yang bersifat khusus. Pendekatan eclectic berbeda dengan pendekatan ideologis dalam hal bahwa pendekatan ideologis memakai kaidah-kaidah ideal sebagai titik tolak, sedangkan pendekatan eclectic kaidah-kaidah umum merupakan hasil dari pendekatan tersebut. Sepanjang tentang penelitian hukum adat Indonesia, sebagaimana dijelaskan dimuka, hasil karya Soepomo yang Berjudul Het Adatprivaat Van Wst Java (1933) yang secara terinci menguraikan hukum adat Jawa Barat menurut kasus-kasus yang terjadi. Hasil karya Soepomo tadi mencakup hukum-hukum kekeluargaan, perkawinan, waris tanah, utang piutang, dan pidana (yang disebutnya hukum pelanggaran). Buku tersebut terutama dimaksudkan sebagai semacam buku pegangan bagi para hakim, apabila menghadapi perkara-perkara adat. Bagaimana caranya Soepomo menguraikan suatu kasus untuk kemudian menarik kesimpulan umum, antara lain ternyata dari ketentuan bahwa sepanjang tentang hukum harta perkawinan, harta bawaan tidak termasuk milik bersama. Untuk jelasnya dikutipkan keterangan dalam buku Soepomo tadi, sebagai berikut:
Hukum harta perkawinan.
Harta bawaan tidak termasuk milik bersama.
Harta bawaan suami atau istri masing-masing dalam perkawinan di Banten disebut barang sulur, didaerah hukum Jakarta  barang usaha (dari orang tua) dan didaerah lain di Jawa Barat,barang benda barang asal, barang bawa, barang sasaka.
Dalam penyelidikan setempat diseluruh wilayah hukum diberitahukan kepada kami, bahwa barang benda, asal atau salur oleh desa atau daerah yang bersangkutan dipandang semata-mata milik suami atau istri yang telah membawanya.
Hal itu antara lain terbukti dari kenyataan diseluruh wilayah hukum, bilamana seorang wanita membawa sebuah rumah, ternak atau sebidang tanah dalam perkawinan, para tetangga dan teman-temannya dalam percakapan dan sebagainya selalu menyebut barang itu kepunyaan wanita tersebut. Jika seseorang ingin mengadakan perjanjian mengenai barang itu, ia akan menghubungi wanita tersebut dan bila mana suaminya yang mengadakan pembicaraan ia berbuat demikian atas nama istrinya.
Melihat kelebihan-kelebihan dan kelemahan-kelemahan yang ada pada ketiga macam pendekatan sebagaimana diuraikan, maka didalam mengadakan penelitian hukum sebaiknya dipergunakan ketiga macam pendekatan tersebut dengan tekanan utama pada salah satu pendekatan yang sangat tergantung pada titik berat penelitian. Apabila yang diitik beratkan dalam suatu penelitian hukum adalah kaidah-kaidah hukum yang umum, maka pendekatan ideologis merupakan alat utamanya, sedangkan  pendekatan-pendekatan lainnya dapat dipakai sebagai alat pembantu atau alat penunjang.
C. Beberapa Pilihan Masalah Yang Dapat Diteliti
Masalah-masalah tersebut antara lain:
1. Kesadaran Hukum (Soerjono Soekanto & S. Hutangalung 1972)
Apabila hendak diadakan penggolongan antara individu-individu sebagai anggota masyarakat dan individu-individu  sebagai anggota masyarakat dan individu-individu  sebagai pejabat hukum, maka didalam setiap masyarakat akan terdapat kesadaran hukum warga masyarakat  disamping adanya  kesadaran hukum pejabat-pejabat hukum sepanjang mengenai peristiwa-peristiwa tertentu. Seharusnya, demi kepastian karena perubahan-perubahan tersebut akan mempunyai sasaran pelbagai unsur tradisional dari masyarakat.
Didalam ilmu hukum dikenal dengan adanya beberapa pendapat tentang kesadaran hukum tersebut. Diantara sekian banyaknya pendapat, terdapat suatu rumusan yang menyatakan, bahwa sumber satu-satu hukum dan kekuatan mengikat adalah kesadaran hukum masyarakat. Dikatakan kemudian, bahwa perasaan hukum dan keyakinan hukum individu didalam masyarakat yang merupakan kesadaran hukum individu, merupakan pangkal daripada kesadaran hukum masyarakat. Selanjutnya pendapat tersebut menyatakan bahwa kesadaran hukum masyarakat adalah jumlah terbanyak dari kesadaran-kesadaran hukum individu mengenai suatu peristiwa tertentu. Ada pula pendapat yang menyatakan, bahwa hukum ditentukan dan tergantung pada praktik-praktik sehari-hari daripada pejabat hukum, seperti hukum dan ketertiban umum, kedua kesadaran hukum tersebut sejalan, akan tetapi, dalam kenyataannya tidak selalu demikian prosesnya. Padahal, kepastian hukum dan ketertiban umum selalu menuntut agar ketentuan-ketentuan hukum tertulis ditaati.
2. Hukum dan Sistem Sosial Masyarakat
Sebagaimana dikatakan pada uraian-uraian terdahulu khususnya dalam bab I, maka tak ada suatu keragaun bahwa sistem hukum merupakan pencerminan dari sitem sosial, dimana sistem hukum tadi merupakan bagiannya. Jadi, sistem hukum seyogyanya mencerminkan unsur-unsur kebudayan, kelompok-kelompok sosial, lembaga-lembaga kemasyarakatan, lapisan-lapisan sosial, kekuasaan, dan wewenang, proses-proses sosial maupun perubahan-perubahan sosial. Namun dapatkah perubahan-perubahan didalam sistem hukum (yaitu terutama perubahan-perubahan yang menyangkut hukum substantive maupun hukum ajektif) menyebabkan terjadinya perubahan-perubahan sosial, atau paling tidak menunjang terjadinya perubahan-perubahan sosial tersbeut? Sementara pendapat menyatakan bahwa hal itu tidak akan terjadi, kecuali perubahan-perubahan didalam sistem hukum memang dimaksudkan untuk mengadakan perubahan-perubahan sosial. Atau dengan kata lain, hukum dipakai sebagai suatu sarana untuk mengubah masyarakat atau untuk mendorong terjadinya perubahan-perubahan tersebut. Hal ini memerlukan penelitian yang lebih mendalam dan yang seksama sekali.
3. Hukum dan Kepribadian
Penelitian tentang hubungan antara hukum dengan kepribadian dapat ditemukan dalam pelbagai disiplin seperti psikologi, sosiologi, antropologi, ilmu hukum, psikiatri, dan kesejahteraan sosial. Biasanya diusahakan untuk menghubungkan salah satu aspek hukum dengan unsur tertentu dari kepribadian. Secara umum dapat dikatakan bahwa penelitian terhadap hubungan antara hukum dengan kepribadian dapat dikelompokkan ke dalam 3 golongan, yaitu (James L. Gibbs. 1969:177)
  1. Sebab-sebab terjdainya pelanggaran terhadap kaidah-kaidah hukum yang bersumber pada jiwa manusia.
  2. Usaha-usaha atau cara yang telah melembaga dan mendarah daging, untuk menyelesaikan pelanggaran-pelanggaran terhadap kaidah-kaidah hukum.
  3. Hasil-hasil dari tindakan yang telah melembaga untuk menetralisasikan akibat pelanggaran terhadap kaidah-kaidah hukum.
4. Pendidikan Hukum
Perlunya mengadakan penelitian terhadap pendidikan hukum adalah untuk mengetahui apakah pendidikan tadi dapat memenuhi kebutuhan masyarakat akan orang-orang yang cukup mampu  untuk menduduki tempat dalam profesi hukum. Untuk mngetahui hal itu, maka penelitian yang dilakukan tidak saja cukup atau terbatas pada pendidikan hukum itu sendiri, akan tetapi perlu pula ditelaah apa yang menjadi kebutuhan masyarakat. Betapa sukarnya penelitian semacam itu, kiranya tak akan sukar untuk dibayangkan, peneliatian terhadap pendidikan hukum yang diselenggarakan oleh bemacam-macam lembaga itu saja sudah sulit. Apabila ruang lingkup dibatasi pada pendidikan hukum yang diselenggarakan oleh fakultas hukum, itu pun tidak terlalu mudah untuk dilakukan. Hal ini antara lain disebabkan karena banyaknya perubahan untuk dilakukan. Hal ini antara lain disebabkan karena banyaknya perubahan yang telah dilakukan (terutama dibidang kurikulum), namun hasilnya belum memuaskan, setidaknya dari sudut apa yang diharapkan masyarakat.
Sistem pendidikan hukum yang tergambar didalam kurikulum tersusun dalam bentuk piramidal, dengan pengertian bahwa semakin tinggi tingkatannya semakin menjurus pada pengkhususan dengan tujuan utama untuk menghasilkan sarjana-sarjana generalis dan spesialis.
5. Pengendalian Sosial  (Sosial Control)
Didalam percakapan sehari-hari, pengendalian sosial atau sosial control seringkali diberi arti sebagai pengawasan oleh masyarakat terhadap jalannya pemerintahan, khususnya pemerintah beserta aparaturnya. Memang ada benarnya, bahwa pengendalian sosial berarti suatu pengawasan dari masyrakat terhadap jalannya pemerintahan. Akan tetapi, arti sebenarnya dari pengendalian sosial-sosial tidak berhenti pada pengertian itu saja. Arti yang sesungguhnya dari pengendalian sosial adalah jauh lebih luas, karena pengertian tersebut mencakup segala proses, baik yang direncanakan, yang bersifat mendidik, mengajak atau bahkan memaksa warga masyrakat agar patuh pada nilai-nilai dan kaidah-kaidah kemasyarakatan yang berlaku. Jadi, pengendalian sosial dapat dilakukan oleh individu terhadap individu lainnya, (misalnya seorang ibu mendidik anaknya agar menyesuaikan diri terhadap nilai-nilai dan kaidah-kaidah yang berlaku) atau mungkin dilakukan oleh individu terhadap suatu kelompok sosial.
Dengan demikian, maka pengendalian sosial bertujuan untuk mencapai keseimbangan antara stabilitas dengan perubahan untuk mencapai keseimbnagan antara stabilitas dengan perubahan didalam masyarakat. Atau, apabila diterjemahkan kedalam bahasa hukum, yang ingin dicapai dengan pengendalian sosial adalah suatu kedamaian melalui keseimbangan antara kepastian hukum dengan kesebandingan. Maka, dari sudut sifatnya dapat dikatakan bahwa pengendalian sosial dapat bersifat preventif atau represif, atau bahkan kedua-duanya. Prevensi merupakan suatu pencegahan terhadap terjadinya gangguan-gangguan pada keseimbangan antara stabilitas dengan fleksibilitas, sedangkan usaha-usaha yang bersifat represif bertujuan untuk mengembalikan keseimbangan yang pernah mengalami gangguan. Usaha-usaha preventif, misalnya dijalankan melalui proses sosialisasi, pendidikan formal dan informal, dan seterusnya, sedangkan usaha-usaha represif pada umumnya berwujud sebagai dijatuhkannya sanksi-sanksi negative terhadap warga masyarakat yang melanggar atau menyimpang dari nilai dan kaidah yang berlaku dimasyarakat.
Suatu proses pengendalian sosial dapat dilaksanakan dengan pelbagai cara yang pada pokoknya berkisar pada cara-cara tanpa kekerasan (persuasive) ataupun dengan paksaan (coercive). Cara mana yang sebaiknya diterapkan, sedikit banyaknya juga tergantung pada faktor terhadap siapa pengendalian sosial hendak dilakukan dan didalam situasi yang bagaimana.
6. Masalah Keadilan, (Dalam Arti Kesebandingan)
Hal ini terutama disebabkan karena pada umumnya orang beranggapan bahwa hukum mempunyai dua tugas utama, yakni mencapai suatu kepastian hukum serta mencapai kesebandingan bagi semua masyarakat. Masalah kepastian hukum maupun kesebandingan hingga kini masih merupakan masalah yang sulit terpecahkan.
Masyarakat Indonesia yang terdiri dari bermacam-macam suku bangsa mempunyai pelbagai pola-pola pemikiran tentang keadilan, yang mana ditentukan oleh lingkungan dan nilai-nilai sosialnya.
Konsepsi-konsepsi tentang kesebandingan pada hakikatnya berakar didalam kondisi yang pada suatu waktu tertentu diingini oleh masyarakat bersangkutan. Dan biasanya, konsepsi tentang kesebandingan baru menonjol atau timbul apabila warga masyarakat dihadapkan pada hal-hal yang dirasakan tidak adil.
7. Hukum Pendapat Umum
Didalam menganalisa suatu sistem hukum adalah penting untuk mengetahui hubungan timbal balik antara hukum dengan pendapat umum. Hubungan tersebut sangat penting terutama bagi penelitian terhadap hukum yang hidup sebagai dasar yang efektif bagi pembentukan hukum. Apabila ingin disoroti tentang efektifitas dari peraturan-peraturan hukum tertentu, maka terlebih dahulu  perlu diketahui tujuan utama dari peraturan-peraturan hukum tersebut.
Penelitian terhadap hubungan timbal balik antara hukum dengan pendapat umum banyak dilakukan dinegara-negara lain. Misalnya di Inggris dan Amerika Serikat.
Suatu masalah lain terjadi sewaktu American Law Institutemerencanakan model kitab undang-undang hukum pidana. Perdebatan-perdebatan yang sengit timbul tentang apakah homoseks merupakan tindak pidana atau tidak. Perdebatan-perdebatan tersbeut baru berakhir setelah diadakan pemungutan suara (dimana homoseks dianggap bukan merupakan tindak pidana) dan tidak perlu terjadi apabila diketahi pendapat umum tentang hal itu.
8. Peranan Kalangan Hukum Profesional
Yang dimaksudkan dengan ahli hukum adalah orang-orang yang secara profesional hidup dari keahliannya dibidang hukum, misalnya pengacara, notaris. Menurut Rueschemeyer. Jadi kalangan hukum professional dianggap mempunyai keahlian-keahlian khusus yang tidak dipunyai warga masyrakat lainnya, sehingga apabila ada masalah-masalah hukum, para ahli hukum dianggap sebagai ahli untuk mengatasinya.
Selain itu, perlu pula diketahui pembatasan peranan antara pelbagai keahlian hukum tersebut. Misalnya, seorang notaris mempunyai peranan tertentu yang tidak dipunyai oleh seorang pengacara dan sebaliknya, walaupun disana-sini ada persamaan-persamaan yaitu keduanya memberikan konsultasi, memerlukan kepercayaan kliennya, meningkatkan kepastian hukum, dan seterusnya. Tentang peranaan notaris dengan jelas dinyatakan dalam pasal 1 Reglemnt Of Het Notaries Ambt Ini Indonesia, yang isinya adalah yang pokok dari pasal tersebut adalah notaris merupakan pejabat umum yang diberi wewenang khusus untuk membuat akte-akte otentik. Apabila peranan notaris diperbandingkan dengan peranan pengacara, maka dapat dikemukakan bahwa seorang notaris mengabdi kepada kepentingan kedua belah pihak, manakala seorang pengacara hanya mengabdi kepada kepentingan kliennya serta berkewajiban untuk memenangkan hak klien atas hak lawannya. Seorang notaris harus berikhtiar sedemikian rupa sehingga kedua belah pihak merasa puas. Dengan demikian, maka seorang notaris pada pokoknya bertujuan untuk menghindarkan timbulnya sengketa, sedang seorang pengacara bertujuan untuk menyelesaikan sengketa yang telah timbul.
9. Penegak Hukum
Penegakkan hukum tersebut mencakup lembaga-lembaga yang menerapkannya (misalnya pengadilan, kejaksaan, kepolisian), pejabat-pejabat yang memegang peranan sebagai pelaksana atau penegak hukum (misalnya para hakim, jaksa, polisi), dan segi-segi administrative (seperti misalnya proses peradilan, pengusutan, penahanan, dan seterusnya).
Penelitian tentang peranan dan tugas-tugas polisi kurang sekali dilakukan terutama di Indonesia, terutama apabila dilihat dari segi publikasi yang dapat diperoleh tentang hal itu. Di negara-negara lain, peranan dan tugas-tugas polisi ini mendapat sorotan yang cukup tajam terutama dari para sosiolog. Suatu penelitian tentang polisi Amerika Serikat (secara umum) pernah dilakukan oleh Jerome H. Skolnick. Penelitian tersebut antara lain bertujuan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut :
a.       Untuk kepentingan sosial apakah polisi itu harus ada?
b.      Nilai-nilai apakah yang dijalankn oleh polisi didalam suatu negara yang demokratis?
c.       Apakah secara principal polisi merupakan suatu alat pengendalian sosial (sosial control) dengan tugas terpokoknya untuk melaksanakan kaidah-kaidah hukum secara efektif dan efisien?
d.      Apakah polisi merupakan suatu lembaga yang mempunyai ikatan kuat dengan rule of law, walaupun ada kemungkinan bahwa keadaan tadi mengurangi ketertiban sosial?
e.       Sampai sejauh manakan dilema yang dihadapi oleh masyarakat dinamis, yaitu dilema antara oreder dan legality menghalangi kemampuan polisi didalam menjalankan tugasnya?
Dengan menggunakan sosiologi hukum dan filsafat hukum, Skolnick berkesimpulan, bahwa polisi di negara-negara yang demokratis bertugas untuk memelihara tata tertib di bawah naungan rule of law.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar