TUGAS HUKUM PIDANA DI LUAR KUHP
TENTANG
UU PORNOGRAFI DAN PORNOAKSI
Nama
Kelompok :
Ø Molo Juniwe Akulas (15310096)
Ø Alfonsius Satu (15310047)
Ø Raimon Kiuk (15310011)
Ø Lime Niba (15310014)
Ø Yovran Adu (15310034)
Ø Deny C. Nana (15310274)
Ø Metusalak Modu (15310161)
Kelas : A
UNIVERSITAS
KRISTEN ARTHA WACANA
FAKULTAS
HUKUM
KUPANG
2016
Pengertian Porngrafi
dan Pornoaksi
Pornografi adalah penggambaran tubuh manusia atau
perilaku seksual manusia secara terbuka (eksplisit) dengan tujuan membangkitkan
birahi (gairah seksual). Pornografi dapat menggunakan berbagai media teks
tertulis maupun lisan, foto-foto, ukiran, gambar, gambar bergerak (termasuk
animasi), dan suara seperti misalnya suara orang yang bernapas
tersengal-sengal. Film porno menggabungkan gambar yang bergerak, teks erotik
yang diucapkan dan/atau suara-suara erotik lainnya, sementara majalah
seringkali menggabungkan foto dan teks tertulis.
Pornoaksi adalah penampilan
seseorang yang sedikit banyak menonjolkan hal-hal seksual, misalnya
gerakan-gerakan yang merangsang atau cara berpakaian minim yang menyingkap
sedikit atau banyak bagian-bagian yang terkait dengan alat kelamin, misalnya
bagian dari paha. Tetapi tidak semua penonjolan atau penyingkapan itu dapat
disebut sebagai pornoaksi, sebab di kolam renang misalnya, memang
"halal" bagi siapapun untuk berpakaian mini, bahkan memang dengan
hanya berbusana bikini (pakaian renang yang hanya menutup alat kelamin). Jadi
soal pornoaksi itu sangat relatif, tergantung motivasi manusianya.
Kriteria Pornografi
Berdasarkan definisi tersebut, maka kriteria porno
dapat dijelaskan sebagai berikut:
·
sengaja membangkitkan nafsu birahi orang lain,
·
bertujuan merangsang birahi orang lain/khalayak,
·
tidak
mengandung nilai (estetika, ilmiah, pendidikan),
·
tidak pantas menurut tata krama dan norma etis
masyarakat setempat, dan
·
bersifat mengeksploitasi untuk kepentingan ekonomi,
kesenangan pribadi, dan kelompok.
Dampak yang di Timbulkan dari Aksi Pornogarafi
Karena pornografi saat ini sangat merajalela
seolah-olah masyarakat tidak tahu bahwa aksi atau perilaku seperti ini membawa
dampak yang tidak bisa dianaggap remeh, maka dampaknya bagi masyarakat sangat
luas, baik psikologis, social.
Secara psikologis, pornografi membawa beberapa dampak.
Antara lain, timbulnya sikap dan perilaku antisosial. Selain itu kaum pria
menjadi lebih agresif terhadap kaum perempuan. Yang lebih parah lagi bahwa
manusia pada umumnya menjadi kurang responsif terhadap penderitaan, kekerasan
dan tindakan-tindakan perkosaan. Akhirnya, pornografi akan menimbulkan
kecenderungan yang lebih tinggi pada penggunaan kekerasan sebagai bagian dari
seks. Dampak psikologis ini bisa menghinggapi semua orang, dan dapat pula
berjangkit menjadi penyakit psikologis yang parah dan menjadi ancaman yang
membawa bencana bagi kemanusiaan.
Dilihat dampak sosialnya, dapat disebutkan beberapa
contoh, misalnya meningkatnya tindak kriminal di bidang seksual, baik kuantitas
maupun jenisnya. Misalnya sekarang kekerasan sodomi mulai menonjol dalam
masyarakat, atau semakin meningkatnya kekerasan seksual dalam rumah tangga.
Contoh lain ialah eksploitasi seksual untuk kepentingan ekonomi yang semakin
marak dan cenderung dianggap sebagai bisnis yang paling menguntungkan. Selain
itu, pornografi akan mengakibatkan semakin maraknya patologi sosial seperti
misalnya penyakit kelamin dan HIV/AIDS. Dapat ditambahkan bahwa secara umum
pornografi akan merusak masa depan generasi muda sehingga mereka tidak lagi
menghargai hakikat seksual, perkawinan dan rumah tangga.
Dari segi etika atau moral, pornografi akan merusak
tatanan norma-norma dalam masyarakat, merusak keserasian hidup dan keluarga dan
masyarakat pada umumnya dan merusak nilai-nilai luhur dalam kehidupan manusia
seperti nilai kasih, kesetiaan, cinta, keadilan, dan kejujuran. Nilai-nilai
tersebut sangat dibutuhkan masyarakat sehingga tercipta dan terjamin hubungan
yang sehat dalam masyarakat. Masyarakat yang sakit dalam nilai-nilai dan
norma-norma, akan mengalami kemerosotan kultural dan akhirnya akan runtuh dan
khaos.
Secara rohani dan teologis dapat dikatakan bahwa
pornografi akan merusak harkat dan martabat manusia sebagai citra sang
Pencipta/Khalik yang telah menciptakan manusia dengan keluhuran seksualitas
sebagai alat Pencipta untuk meneruskan generasi manusia dari waktu ke waktu
dengan sehat dan terhormat.
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2008
TENTANG
PORNOGRAFI
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam
Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1.
Pornografi adalah gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi,
gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan
lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka
umum, yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma
kesusilaan dalam masyarakat.
2. Jasa
pornografi adalah segala jenis layanan pornografi yang disediakan oleh orang
perseorangan atau korporasi melalui pertunjukan langsung, televisi kabel,
televisi teresterial, radio, telepon, internet, dan komunikasi elektronik
lainnya serta surat kabar, majalah, dan barang cetakan lainnya.
3. Setiap
orang adalah orang perseorangan atau korporasi, baik yang berbadan hukum maupun
yang tidak berbadan hukum.
4. Anak
adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun.
5.
Pemerintah adalah Pemerintah Pusat yang dipimpin oleh Presiden Republik
Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.
6.
Pemerintah Daerah adalah Gubernur, Bupati, atau Walikota, dan perangkat daerah
sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.
Pasal 2
Pengaturan
pornografi berasaskan Ketuhanan Yang Maha Esa, penghormatan terhadap harkat dan
martabat kemanusiaan, kebinekaan, kepastian hukum, nondiskriminasi, dan
perlindungan terhadap warga negara.
Pasal 3
Undang-Undang
ini bertujuan:
a.
mewujudkan dan memelihara tatanan kehidupan masyarakat yang beretika,
berkepribadian luhur, menjunjung tinggi nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa,
serta menghormati harkat dan martabat kemanusiaan;
b.
menghormati, melindungi, dan melestarikan nilai seni dan budaya, adat istiadat,
dan ritual keagamaan masyarakat Indonesia yang majemuk;
c.
memberikan pembinaan dan pendidikan terhadap moral dan akhlak masyarakat;
d.
memberikan kepastian hukum dan perlindungan bagi warga negara dari pornografi,
terutama bagi anak dan perempuan; dan
e. mencegah
berkembangnya pornografi dan komersialisasi seks di masyarakat
BAB II
LARANGAN DAN PEMBATASAN
Pasal 4
(1) Setiap
orang dilarang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan,
menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan,
memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi yang secara
eksplisit memuat:
a.
persenggamaan, termasuk persenggamaan yang menyimpang;
b. kekerasan
seksual;
c.
masturbasi atau onani;
d.
ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan;
e. alat
kelamin; atau
f.
pornografi anak.
(2) Setiap
orang dilarang menyediakan jasa pornografi yang:
a.
menyajikan secara eksplisit ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan
ketelanjangan;
b.
menyajikan secara eksplisit alat kelamin;
c.
mengeksploitasi atau memamerkan aktivitas seksual; atau
d.
menawarkan atau mengiklankan, baik langsung maupun tidak langsung layanan
seksual.
Pasal 5
Setiap orang
dilarang meminjamkan atau mengunduh pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal
4 ayat (1).
Pasal 6
Setiap orang
dilarang memperdengarkan, mempertontonkan, memanfaatkan, memiliki, atau
menyimpan produk pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1),
kecuali yang diberi kewenangan oleh peraturan perundang-undangan.
Pasal 7
Setiap orang
dilarang mendanai atau memfasilitasi perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
4.
Pasal 8
Setiap orang
dilarang dengan sengaja atau atas persetujuan dirinya menjadi objek atau model
yang mengandung muatan pornografi.
Pasal 9
Setiap orang
dilarang menjadikan orang lain sebagai objek atau model yang mengandung muatan
pornografi.
Pasal 10
Setiap orang
dilarang mempertontonkan diri atau orang lain dalam pertunjukan atau di muka
umum yang menggambarkan ketelanjangan, eksploitasi seksual, persenggamaan, atau
yang bermuatan pornografi lainnya.
Pasal 11
Setiap orang
dilarang melibatkan anak dalam kegiatan dan/atau sebagai objek sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 8, Pasal 9, atau Pasal 10.
Pasal 12
Setiap orang
dilarang mengajak, membujuk, memanfaatkan, membiarkan, menyalahgunakan
kekuasaan atau memaksa anak dalam menggunakan produk atau jasa pornografi.
Pasal 13
(1)
Pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi yang memuat selain
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) wajib mendasarkan pada peraturan
perundang-undangan.
(2)
Pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) harus dilakukan di tempat dan dengan cara khusus.
Pasal 14
Ketentuan
mengenai syarat dan tata cara perizinan pembuatan, penyebarluasan, dan
penggunaan produk pornografi untuk tujuan dan kepentingan pendidikan dan
pelayanan kesehatan dan pelaksanaan ketentuan Pasal 13 diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
BAB III
PERLINDUNGAN ANAK
Pasal 15
Setiap orang
berkewajiban melindungi anak dari pengaruh pornografi dan mencegah akses anak
terhadap informasi pornografi.
Pasal 16
(1)
Pemerintah, lembaga sosial, lembaga pendidikan, lembaga keagamaan, keluarga,
dan/atau masyarakat berkewajiban memberikan pembinaan, pendampingan, serta
pemulihan sosial, kesehatan fisik dan mental bagi setiap anak yang menjadi
korban atau pelaku pornografi.
(2)
Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan, pendampingan, serta pemulihan
sosial, kesehatan fisik dan mental sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
BAB IV
PENCEGAHAN
Bagian Kesatu
Peran Pemerintah
Pasal 17
Pemerintah
dan Pemerintah Daerah wajib melakukan pencegahan pembuatan, penyebarluasan, dan
penggunaan pornografi.
Pasal 18
Untuk
melakukan pencegahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, Pemerintah berwenang:
a. melakukan
pemutusan jaringan pembuatan dan penyebarluasan produk pornografi atau jasa
pornografi, termasuk pemblokiran pornografi melalui internet;
b. melakukan
pengawasan terhadap pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi; dan
c. melakukan
kerja sama dan koordinasi dengan berbagai pihak, baik dari dalam maupun dari
luar negeri, dalam pencegahan pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan
pornografi.
Pasal 19
Untuk
melakukan pencegahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, Pemerintah Daerah berwenang:
a. melakukan
pemutusan jaringan pembuatan dan penyebarluasan produk pornografi atau jasa
pornografi, termasuk pemblokiran pornografi melalui internet di wilayahnya;
b. melakukan
pengawasan terhadap pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi di
wilayahnya;
c. melakukan
kerja sama dan koordinasi dengan berbagai pihak dalam pencegahan pembuatan,
penyebarluasan, dan penggunaan pornografi di wilayahnya; dan
d.
mengembangkan sistem komunikasi, informasi, dan edukasi dalam rangka pencegahan
pornografi di wilayahnya.
Bagian Kedua
Peran Serta Masyarakat
Pasal 20
Masyarakat
dapat berperan serta dalam melakukan pencegahan terhadap pembuatan,
penyebarluasan, dan penggunaan pornografi.
Pasal 21
(1) Peran
serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 dapat dilakukan dengan
cara:
a.
melaporkan pelanggaran Undang-Undang ini;
b. melakukan
gugatan perwakilan ke pengadilan;
c. melakukan
sosialisasi peraturan perundang-undangan yang mengatur pornografi; dan
d. melakukan
pembinaan kepada masyarakat terhadap bahaya dan dampak pornografi.
(2)
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b dilaksanakan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 22
Masyarakat
yang melaporkan pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf
a berhak mendapat perlindungan berdasarkan peraturan perundang-undangan.
BAB V
PENYIDIKAN, PENUNTUTAN, DAN PEMERIKSAAN DI SIDANG
PENGADILAN
Pasal 23
Penyidikan,
penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap pelanggaran
pornografi dilaksanakan berdasarkan Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana,
kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini.
Pasal 24
Di samping
alat bukti sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana,
termasuk juga alat bukti dalam perkara tindak pidana meliputi tetapi tidak
terbatas pada:
a. barang
yang memuat tulisan atau gambar dalam bentuk cetakan atau bukan cetakan, baik
elektronik, optik, maupun bentuk penyimpanan data lainnya; dan
b. data yang
tersimpan dalam jaringan internet dan saluran komunikasi lainnya.
Pasal 25
(1) Untuk kepentingan penyidikan, penyidik berwenang membuka akses,
memeriksa, dan membuat salinan data elektronik yang tersimpan dalam fail
komputer, jaringan internet, media optik, serta bentuk penyimpanan data
elektronik lainnya.
(2) Untuk
kepentingan penyidikan, pemilik data, penyimpan data, atau penyedia jasa
layanan elektronik berkewajiban menyerahkan dan/atau membuka data elektronik
yang diminta penyidik.
(3) Pemilik
data, penyimpan data, atau penyedia jasa layanan elektronik setelah menyerahkan
dan/atau membuka data elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berhak
menerima tanda terima penyerahan atau berita acara pembukaan data elektronik
dari penyidik.
Pasal 26
Penyidik
membuat berita acara tentang tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 dan
mengirim turunan berita acara tersebut kepada pemilik data, penyimpan data,
atau penyedia jasa layanan komunikasi di tempat data tersebut didapatkan.
Pasal 27
(1) Data
elektronik yang ada hubungannya dengan perkara yang sedang diperiksa
dilampirkan dalam berkas perkara.
(2) Data elektronik yang ada hubungannya dengan
perkara yang sedang diperiksa dapat dimusnahkan atau dihapus.
(3) Penyidik, penuntut umum, dan para pejabat
pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan wajib merahasiakan dengan
sungguh-sungguh atas kekuatan sumpah jabatan, baik isi maupun informasi data
elektronik yang dimusnahkan atau dihapus.
BAB VI
PEMUSNAHAN
Pasal 28
(1)
Pemusnahan dilakukan terhadap produk pornografi hasil perampasan.
(2)
Pemusnahan produk pornografi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh
penuntut umum dengan membuat berita acara yang sekurang-kurangnya memuat:
a. nama
media cetak dan/atau media elektronik yang menyebarluaskan pornografi;
b. nama,
jenis, dan jumlah barang yang dimusnahkan;
c. hari,
tanggal, bulan, dan tahun pemusnahan; dan
d.
keterangan mengenai pemilik atau yang menguasai barang yang dimusnahkan.
BAB VII
KETENTUAN PIDANA
Pasal 29
Setiap orang
yang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebar-luaskan,
menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan,
atau menyediakan pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1)
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 12
(dua belas) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp250.000.000,00 (dua
ratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp6.000.000.000,00 (enam miliar
rupiah).
Pasal 30
Setiap orang
yang menyediakan jasa pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2)
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 6
(enam) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp250.000.000,00 (dua ratus
lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar
rupiah).
Pasal 31
Setiap orang
yang meminjamkan atau mengunduh pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5
dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana
denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).
Pasal 32
Setiap orang
yang memperdengarkan, mempertontonkan, memanfaatkan, memiliki, atau menyimpan
produk pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dipidana dengan pidana
paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak
Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).
Pasal 33
Setiap orang
yang mendanai atau memfasilitasi perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 15
(lima belas) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00
(satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp7.500.000.000,00 (tujuh miliar lima
ratus juta rupiah).
Pasal 34
Setiap orang
yang dengan sengaja atau atas persetujuan dirinya menjadi objek atau model yang
mengandung muatan pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dipidana dengan
pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling
banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
Pasal 35
Setiap orang
yang menjadikan orang lain sebagai objek atau model yang mengandung muatan
pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dipidana dengan pidana penjara
paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau
pidana denda paling sedikit Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dan
paling banyak Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah).
Pasal 36
Setiap orang
yang mempertontonkan diri atau orang lain dalam pertunjukan atau di muka umum
yang menggambarkan ketelanjangan, eksploitasi seksual, persenggamaan, atau yang
bermuatan pornografi lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 dipidana
dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda
paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
Pasal 37
Setiap orang
yang melibatkan anak dalam kegiatan dan/atau sebagai objek sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 11 dipidana dengan pidana yang sama dengan pidana sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 29, Pasal 30, Pasal 31, Pasal 32, Pasal 34, Pasal 35, dan
Pasal 36, ditambah 1/3 (sepertiga) dari maksimum ancaman pidananya.
Pasal 38
Setiap orang
yang mengajak, membujuk, memanfaatkan, membiarkan, menyalahgunakan kekuasaan,
atau memaksa anak dalam menggunakan produk atau jasa pornografi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 12 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam)
bulan dan paling lama 6 (enam) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit
Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak
Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
Pasal 39
Tindak
pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29, Pasal 30, Pasal 31, Pasal 32, Pasal
33, Pasal 34, Pasal 35, Pasal 36, Pasal 37, dan Pasal 38 adalah kejahatan.
Pasal 40
(1) Dalam
hal tindak pidana pornografi dilakukan oleh atau atas nama suatu korporasi,
tuntutan dan penjatuhan pidana dapat dilakukan terhadap korporasi dan/atau
pengurusnya.
(2) Tindak
pidana pornografi dilakukan oleh korporasi apabila tindak pidana tersebut
dilakukan oleh orang-orang, baik berdasarkan hubungan kerja maupun berdasarkan
hubungan lain, bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut, baik sendiri
maupun bersama-sama.
(3) Dalam
hal tuntutan pidana dilakukan terhadap suatu korporasi, korporasi tersebut
diwakili oleh pengurus.
(4) Pengurus
yang mewakili korporasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat diwakili oleh
orang lain.
(5) Hakim
dapat memerintahkan pengurus korporasi supaya pengurus korporasi menghadap
sendiri di pengadilan dan dapat pula memerintahkan pengurus korporasi supaya
pengurus tersebut dibawa ke sidang pengadilan.
(6) Dalam
hal tuntutan pidana dilakukan terhadap korporasi, panggilan untuk menghadap dan
penyerahan surat panggilan tersebut disampaikan kepada pengurus di tempat
tinggal pengurus atau di tempat pengurus berkantor.
(7) Dalam
hal tindak pidana pornografi yang dilakukan korporasi, selain pidana penjara
dan denda terhadap pengurusnya, dijatuhkan pula pidana denda terhadap korporasi
dengan ketentuan maksimum pidana dikalikan 3 (tiga) dari pidana denda yang
ditentukan dalam setiap pasal dalam Bab ini.
Pasal 41
Selain
pidana pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (7), korporasi dapat
dikenai pidana tambahan berupa:
a. pembekuan
izin usaha;
b.
pencabutan izin usaha;
c. perampasan kekayaan hasil tindak pidana; dan
d.
pencabutan status badan hukum.
BAB VIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 42
Untuk
meningkatkan efektivitas pelaksanaan Undang-Undang ini, dibentuk gugus tugas
antardepartemen, kementerian, dan lembaga terkait yang ketentuannya diatur
dengan Peraturan Presiden.
Pasal 43
Pada saat
Undang-Undang ini berlaku, dalam waktu paling lama 1 (satu) bulan setiap orang
yang memiliki atau menyimpan produk pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal
4 ayat (1) harus memusnahkan sendiri atau menyerahkan kepada pihak yang
berwajib untuk dimusnahkan.
Pasal 44
Pada saat
Undang-Undang ini mulai berlaku, semua peraturan perundang-undangan yang
mengatur atau berkaitan dengan tindak pidana pornografi dinyatakan tetap
berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang ini.
Pasal 45
Undang-Undang
ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap
orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Pada bagian ini akan diuraikan secara singkat mengenai
unsur-unsur tindak pidana pornografi dan pornoaksi. Uraian ini bertujuan untuk
mengetahui unsur-unsur yang harus dipenuhi, sehingga suatu perbuatan dapat
dikualifikasi sebagai tindak pidana pornografi dan atau pornoaksi. Dengan
diketahuinya unsur-unsur dalam tindak pidana pornografi dan atau pornoaksi
tersebut diharapkan dapat membantu dalam mengetahui alur pikiran atau latar
belakang penyusunan atau dimasukkannya tindak pidana pornografi dan pornoaksi
ke dalam Rancangan KUHP.
Untuk memudahkan memahami ketentuan-ketentuan mengenai
tindak pidana pornografi dan pornoaksi, uraian akan dilakukan dengan
menguraikan unsur-unsur yang terdapat dalam suatu pasal, yaitu unsur obyektif
dan unsur subyektif.
Tindak Pidana Pornografi
Pasal
|
Unsur Obyektif
|
Unsur subyektif
|
468
Ayat 1
|
Setiap orang yang membuat :
1. tulisan;
2. suara;
3. rekaman suara;
4. film atau yang dapat disamakan
dengan
film;
5. syair lagu;
6. puisi;
7. gambar;
8. foto;
9. lukisan
|
Mengeksploitasi
daya tarik seksual pada bagian tubuh; aktivitas seksual; hubungan seksual
antara laki-laki dengan perempuan atau sesama jenis; atau aktivitas atau
hubungan seksual dengan binatang; dengan jenazah
|
469
ayat 1
|
Setiap
orang yang menyiarkan, memperdengarkan, mempertontonkan, menempelkan melalui
media massa cetak, media massa elektronik dan/ atau alat komunikasi media :
1. tulisan;
2. suara;
3. rekaman suara;
4. film atau yang dapat disamakan
dengan
film;
5. syair lagu;
6. puisi;
7. gambar;
8. foto;
9. lukisan
|
Mengeksploitasi
daya tarik seksual pada bagian tubuh, aktivitas seksual; hubungan seksual
antara laki-laki dengan perempuan atau sesama jenis; atau aktivitas hubungan
seksual dengan binatang atau jenazah.
|
470
|
Setiap orang yang menjadikan diri
sendiri
dan/atau orang lain sebagai:
1. model;
2. objek pembuatan tulisan;
3. suara;
4. rekaman suara;
5. film;
6. yang dapat disamakan dengan
film;
7. syair lagu;
8. puisi;
9. gambar;
10. foto;
11. lukisan.
|
Mengeksploitasi daya tarik seksual
pada bagian tubuh; aktivitas seksual; hubungan seksual antara laki-laki
dengan perempuan atau sesama jenis; atau aktivitas atau hubungan seksual
dengan binatang atau dengan jenazah
|
471
|
Setiap
orang yang memaksa anak-anak
menjadi:
1. model;
2. objek
pembuatan tulisan;
3. suara;
4. rekaman
suara;
5. film;
6. yang
dapat disamakan dengan film;
7. syair
lagu;
8. puisi;
9. gambar;
10. foto;
11.
lukisan.
|
Mengeksploitasi
anak-anak untuk
melakukan
aktivitas seksual atau
persetubuhan.
|
472
|
Setiap
orang yang membuat,
menyebarluaskan,
dan menggunakan karya
seni:
1. di
media masa cetak;
2. media
massa elektronik;
3. alat
komunikasi media;
4. di
tempat-tempat umum;
5. tempat
yang bukan dimaksudkan
sebagai tempat pertunjukan karya seni.
|
yang
mengandung sifat pornograf
|
473
|
Setiap
orang yang:
1. membeli
barang pornografi;
2. jasa
pornografi.
|
Tanpa
alasan yang dibenarkan.
|
474
|
Setiap
orang yang:
1. mendanai;
2. menyediakan
tempat;
3. peralatan;
4. perlengkapan
bagi orang lain.
|
Untuk
melakukan kegiatan pornografi
dan/atau
pameran pornografi
|
Tindak Pidana Pornoaksi
Pasal
|
Unsur Obyektif
|
Unsur subyektif
|
475
|
Setiap orang yang di muka umum
atau di suatu tempat yang dapat dilihat oleh umum :
1. mempertontonkan
alat kelamin;
2. melakukan
aktivitas seksual;
3.
melakukan hubungan seksual
|
|
476
|
Setiap
orang yang di muka umum mempertontonkan :
1. gerakan;
2. tarian
erotis;
3. peragaan
orang yang sedang melakukan
hubungan seks
|
|
477
|
Setiap
orang yang menyelenggarakan acara pertunjukan seks atau pesta seks
|
|
478
|
Setiap
orang yang menonton acara pertunjukan seks atau pesta seks
|
|
479
|
Setiap
orang yang :
1.
mendanai;
2.
menyediakan tempat;
3.
menyediakan peralatan dan atau perlengkapan bagi
orang
lain.
|
Untuk
melakukan
kegiatan
pornoaksi; acara
pertunjukan
seks; atau
acara
pesta seks.
|
Sanksi Pidana terhadap Tindak Pidana Pornografi dan
Pornoaksi
Pemidanaan
terhadap pelaku-pelaku tindak pidana bertujuan untuk mencegah dilakukannya
tindak pidana yang sama di masa yang akan datang, serta untuk menegak-kan norma
hukum. Namun demikian, dilaksanakannya pemidanaan harus tetap menghindari
ketidakadilan (injustice) dengan menetapkan batas pemidanaan (the limit of
sentencing) dan bobot pemidanaan (the level of sentencing). Berkaitan dengan
pemidanaan dalam Rancangan KUHP, tampaknya ada pergeseran pemikiran dari
penyusun Rancangan KUHP dalam mengatur mengenai pemidanaan ini, dimana
Rancangan KUHP tidak lagi memfokuskan pada upaya penjatuhan sanksi untuk
pelanggar sebagai parameter keadilan, tetapi juga mengembangkan alternatif
sanksi yang memikirkan kepentingan dampak kejahatan dengan memasukkan
alternatif sanksi pidana, antara lain pidana pengawasan, kerja sosial,
pembayaran ganti kerugian, dan pemenuhan kewajiban adat.
Namun, pergeseran pemikiran penyusun Rancangan KUHP
tersebut ternyata belum menunjukkan suatu pola pemikiran pembaruan (reformasi)
hukum pidana yang mendasar atau mengubah paradigma pemidanaan. Sehingga masih
terdapat pola pikir lama dalam pemidanaan yang sebenarnya tidak cocok lagi
dengan kehidupan masyarakat Indonesia sekarang.
Berkaitan
pemidanaan terhadap tindak pidana pornografi dan pornoaksi, tampaknya penyusun
Rancangan KUHP ingin melakukan penyesuaian dengan pemikiran baru yang
diusungnya. Hal ini terlihat dengan dicantumkannya kategori-kategori pidana
denda dalam ancaman pidananya. Adapun jenis pidana yang diancamkan terhadap
pelaku tindak pidana pornografi dan pornoaksi ini hanya terdiri dari dua jenis,
yaitu pidana penjara dan pidana denda. Untuk tindak pidana pornografi, pidana
penjara paling rendah adalah 2 (dua) tahun dan paling tinggi 15 (limabelas)
tahun. Sedangkan untuk pidana denda, ancaman paling rendahnya adalah denda
kategori II dan paling tinggi kategori VI. Jadi hanya ada dua alternatif pidana
untuk tindak pidana ini.
Khusus
mengenai tindak pidana pornografi yang melibatkan anak sebagai salah satu
obyeknya, Rancangan KUHP ini memberikan ancaman pidana yang kelihatannya ambigu
sekali. Di satu sisi ingin memberikan efek jera yang kuat bagi pelakunya.
Sedangkan disisi lain memberikan alternatif yang justru lebih banyak dan ringan
dari tujuan yang hendak dicapai. Hal ini disebabkan karena penyusun Rancangan
KUHP memberikan banyak alternatif dalam ancaman pidananya. Alternatif pertama
yang diberikan adalah dengan adanya ancaman pidana minimum dan maksimum, yaitu
minumum 2 (dua) tahun dan maksimum 7 (tujuh) tahun, atau dapat juga pidana
denda paling banyak Kategori V dan paling sedikit kategori III atau IV.
Sementara itu, ancaman pidana terhadap pelaku tindak
pidana pornoaksi, sama seperti tindak pidana pornografi, variasinya hanya
meliputi pidana penjara dan pidana denda. Untuk pidana penjara, ancaman pidana
yang paling lama adalah 15 (lima belas) tahun penjara, yaitu untuk “setiap
orang yang menyelenggarakan acara pertunjukan seks atau pesta seks dengan
melibatkan anak-anak; orang yang mendanai atau menyediakan tempat, peralatan
dan/atau perlengkapan bagi orang lain untuk melakukan kegiatan pornoaksi, acara
pertunjukan seks, atau acara pesta seks, dan orang yang mendanai atau menyediakan
tempat, peralatan, dan/atau perlengkapan bagi orang lain untuk melakukan
kegiatan pornoaksi, acara pertunjukan seks, dan/atau pesta seks yang melibatkan
anak-anak”. Sedangkan ancaman pidana paling singkat adalah 2 (dua) tahun
penjara, yaitu untuk orang yang menyelenggarakan acara pertunjukan seks atau
pesta seks dan orang yang menonton acara pertunjukan seks atau pesta seks
dengan melibatkan anak-anak.
Untuk pidana
denda, ancaman pidana paling rendah adalah denda Kategori II. Ancaman pidana ini
diberikan terhadap “setiap orang yang di muka umum mempertontonkan gerakan atau
tarian erotis atau peragaan orang yang sedang melakukan hubungan seks”, dan
ancaman pidana denda paling banyak adalah denda Kategori VI, yang diancamkan terhadap “setiap orang yang
menyelenggarakan acara pertunjukan seks atau pesta seks dengan melibatkan
anak-anak; setiap orang yang mendanai atau menyediakan tempat, peralatan
dan/atau perlengkapan bagi orang lain untuk melakukan kegiatan pornoaksi, acara
pertunjukan seks, atau acara pesta seks, dan setiap orang yang mendanai atau
menyediakan tempat, peralatan, dan/atau perlengkapan bagi orang lain untuk
melakukan kegiatan pornoaksi, acara pertunjukan seks, dan/ataupesta seks yang
melibatkan anak-anak”.
Banyaknya alternatif pilihan ancaman pidana yang
diberikan penyusun Rancangan KUHP kepada para pelanggar tindak pidana ini
menunjukkan bahwa penyusun Rancangan KUHP masih ragu-ragu untuk menggunakan
pidana penjara sebagai pilihan jenis pidana. Hal ini mungkin berkaitan karena adanya
dampak negatif yang ditimbulkan diterapkannya pidana penjara. Disamping
itu,harus diakui bahwa digunakannya pidana penjara sebagai pidana pokok tidak
membuat orang kapok untuk tidak mengulangi lagi perbuatannya. Bahkan dapat
menjadikan orang semakin buruk perilakunya atau tidak menjadi baik. Disamping
itu, dasar filosofis dari pidana penjara adalah pembalasan (retributif).
Sehubungan
dengan pidana denda, sebagaimana juga terlihat dalam ketentuan pidana yang
diatur dalam Pasal 75 sampai dengan Pasal 78, cukup memberikan gambaran
mengenai besaran pidana denda yang akan dikenakan terhadap pelaku tindak
pidana, dimana dalam hal tindak pidana pornografi dan pornoaksi pidana denda
yang diancamkan besarannya antara Kategori II sampai dengan Kategori VI. Cukup
besar apabila hal ini diterapkan kepada semua pelaku tindak pidana. Walaupun
jika dibandingkan dengan nilai kerugian materiil dan immateriil yang diderita
oleh korban atau masyarakat besaran pidana denda tersebut kemungkinan dirasakan
tidak adil.
Oleh
karenanya, besaran pidana denda sebaiknya disamakan dengan pidana ganti
kerugian, yakni akan dihitung berdasarkan dampak kejahatan yang dialami
korbannya atau masyarakat. Semakin besar nilai kerugian materiil akan semakin
besar pidana denda yang hendak dijatuhkan kepada pelanggar. Apabila ditetapkan
sebelumnya seperti ketentuan Pasal 75 ayat (3) pidana yang hendak dijatuhkan
bisa sama padahal perbuatan pidana yang sama belum tentu menimbulkan dampak
kerugian yang sama, umumnya berbeda-beda, maka pidana denda juga berbeda-beda
sesuai nilai kerugian yang ditimbulkan oleh perbuatan pidana.
Pidana denda sebagai instrumen pemidanaan untuk
mencapai tujuan pemidanaan dinilai lebih tepat, asalkan disesuaikan dengan
kemampuan terpidana, baik dilakukan secara tunai maupun dengan cara mengangsur.
Pidana denda memang berbeda dengan pidana ganti kerugian yang dapat dibayarkan
langsung kepada korban, dalam konteks ini pidana denda dibayarkan kepada negara
dan negara membayar kepada korban (pihak yang dirugikan) sebagai bagian dari
tanggungjawab negara terhadap rakyatnya. Jika kerugian akibat kejahatan bersifat
abstrak atau kolektif (masyarakat), maka pidana dapat dikembalikan kepada
masyarakat dalam bentuk peningkatan layanan umum kepada masyarakat terutama
terhadap kelompok masyarakat yang menderita akibat adanya kejahatan.
Namun demikian, permasalahan pornografi dan pornoaksi
tidak cukup diatasi dengan berkonsentrasi pada ancaman pidana yang akan
diterapkan. Penanganan permasalahan tersebut merupakan salah satu pilar penting
dalam memerangi tindak pidana pornografi dan pornoaksi. Penanganan yang
komprehensif, mulai dari penguatan pendidikan dan pengetahuan dalam diri
individu dan masyarakat, penegakkan hukum, dan reformasi aparat penegak hukum
merupakan kunci keberhasilan dalam memerangi dan menangani permasalahan yang
berkaitan dengan tindak pidana kesusilaan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar