Kamis, 23 Juni 2016

Tugas KUHP UU pornografi

TUGAS HUKUM PIDANA DI LUAR KUHP
TENTANG
UU PORNOGRAFI DAN PORNOAKSI


 












                        Nama Kelompok         :
Ø  Molo Juniwe Akulas            (15310096)
Ø  Alfonsius Satu                     (15310047)
Ø  Raimon Kiuk                        (15310011)
Ø  Lime Niba                            (15310014)
Ø  Yovran Adu                         (15310034)
Ø  Deny C. Nana                      (15310274)
Ø  Metusalak Modu                  (15310161)
Kelas                           :  A

UNIVERSITAS KRISTEN ARTHA WACANA
FAKULTAS HUKUM
KUPANG
2016









Pengertian Porngrafi dan Pornoaksi
Pornografi adalah penggambaran tubuh manusia atau perilaku seksual manusia secara terbuka (eksplisit) dengan tujuan membangkitkan birahi (gairah seksual). Pornografi dapat menggunakan berbagai media teks tertulis maupun lisan, foto-foto, ukiran, gambar, gambar bergerak (termasuk animasi), dan suara seperti misalnya suara orang yang bernapas tersengal-sengal. Film porno menggabungkan gambar yang bergerak, teks erotik yang diucapkan dan/atau suara-suara erotik lainnya, sementara majalah seringkali menggabungkan foto dan teks tertulis.
Pornoaksi adalah penampilan seseorang yang sedikit banyak menonjolkan hal-hal seksual, misalnya gerakan-gerakan yang merangsang atau cara berpakaian minim yang menyingkap sedikit atau banyak bagian-bagian yang terkait dengan alat kelamin, misalnya bagian dari paha. Tetapi tidak semua penonjolan atau penyingkapan itu dapat disebut sebagai pornoaksi, sebab di kolam renang misalnya, memang "halal" bagi siapapun untuk berpakaian mini, bahkan memang dengan hanya berbusana bikini (pakaian renang yang hanya menutup alat kelamin). Jadi soal pornoaksi itu sangat relatif, tergantung motivasi manusianya.

Kriteria Pornografi
Berdasarkan definisi tersebut, maka kriteria porno dapat dijelaskan sebagai berikut:
·         sengaja membangkitkan nafsu birahi orang lain,
·         bertujuan merangsang birahi orang lain/khalayak,
·          tidak mengandung nilai (estetika, ilmiah, pendidikan),
·         tidak pantas menurut tata krama dan norma etis masyarakat setempat, dan
·         bersifat mengeksploitasi untuk kepentingan ekonomi, kesenangan pribadi, dan kelompok.

Dampak yang di Timbulkan dari  Aksi Pornogarafi
Karena pornografi saat ini sangat merajalela seolah-olah masyarakat tidak tahu bahwa aksi atau perilaku seperti ini membawa dampak yang tidak bisa dianaggap remeh, maka dampaknya bagi masyarakat sangat luas, baik psikologis, social.
Secara psikologis, pornografi membawa beberapa dampak. Antara lain, timbulnya sikap dan perilaku antisosial. Selain itu kaum pria menjadi lebih agresif terhadap kaum perempuan. Yang lebih parah lagi bahwa manusia pada umumnya menjadi kurang responsif terhadap penderitaan, kekerasan dan tindakan-tindakan perkosaan. Akhirnya, pornografi akan menimbulkan kecenderungan yang lebih tinggi pada penggunaan kekerasan sebagai bagian dari seks. Dampak psikologis ini bisa menghinggapi semua orang, dan dapat pula berjangkit menjadi penyakit psikologis yang parah dan menjadi ancaman yang membawa bencana bagi kemanusiaan.






Dilihat dampak sosialnya, dapat disebutkan beberapa contoh, misalnya meningkatnya tindak kriminal di bidang seksual, baik kuantitas maupun jenisnya. Misalnya sekarang kekerasan sodomi mulai menonjol dalam masyarakat, atau semakin meningkatnya kekerasan seksual dalam rumah tangga. Contoh lain ialah eksploitasi seksual untuk kepentingan ekonomi yang semakin marak dan cenderung dianggap sebagai bisnis yang paling menguntungkan. Selain itu, pornografi akan mengakibatkan semakin maraknya patologi sosial seperti misalnya penyakit kelamin dan HIV/AIDS. Dapat ditambahkan bahwa secara umum pornografi akan merusak masa depan generasi muda sehingga mereka tidak lagi menghargai hakikat seksual, perkawinan dan rumah tangga.
Dari segi etika atau moral, pornografi akan merusak tatanan norma-norma dalam masyarakat, merusak keserasian hidup dan keluarga dan masyarakat pada umumnya dan merusak nilai-nilai luhur dalam kehidupan manusia seperti nilai kasih, kesetiaan, cinta, keadilan, dan kejujuran. Nilai-nilai tersebut sangat dibutuhkan masyarakat sehingga tercipta dan terjamin hubungan yang sehat dalam masyarakat. Masyarakat yang sakit dalam nilai-nilai dan norma-norma, akan mengalami kemerosotan kultural dan akhirnya akan runtuh dan khaos.
Secara rohani dan teologis dapat dikatakan bahwa pornografi akan merusak harkat dan martabat manusia sebagai citra sang Pencipta/Khalik yang telah menciptakan manusia dengan keluhuran seksualitas sebagai alat Pencipta untuk meneruskan generasi manusia dari waktu ke waktu dengan sehat dan terhormat.



















UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2008
TENTANG
PORNOGRAFI

BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1

Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:

1. Pornografi adalah gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat.

2. Jasa pornografi adalah segala jenis layanan pornografi yang disediakan oleh orang perseorangan atau korporasi melalui pertunjukan langsung, televisi kabel, televisi teresterial, radio, telepon, internet, dan komunikasi elektronik lainnya serta surat kabar, majalah, dan barang cetakan lainnya.

3. Setiap orang adalah orang perseorangan atau korporasi, baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum.

4. Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun.

5. Pemerintah adalah Pemerintah Pusat yang dipimpin oleh Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

6. Pemerintah Daerah adalah Gubernur, Bupati, atau Walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.

Pasal 2
Pengaturan pornografi berasaskan Ketuhanan Yang Maha Esa, penghormatan terhadap harkat dan martabat kemanusiaan, kebinekaan, kepastian hukum, nondiskriminasi, dan perlindungan terhadap warga negara.
Pasal 3
Undang-Undang ini bertujuan:
a. mewujudkan dan memelihara tatanan kehidupan masyarakat yang beretika, berkepribadian luhur, menjunjung tinggi nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa, serta menghormati harkat dan martabat kemanusiaan;

b. menghormati, melindungi, dan melestarikan nilai seni dan budaya, adat istiadat, dan ritual keagamaan masyarakat Indonesia yang majemuk;

c. memberikan pembinaan dan pendidikan terhadap moral dan akhlak masyarakat;

d. memberikan kepastian hukum dan perlindungan bagi warga negara dari pornografi, terutama bagi anak dan perempuan; dan

e. mencegah berkembangnya pornografi dan komersialisasi seks di masyarakat











BAB II
LARANGAN DAN PEMBATASAN
Pasal 4
(1) Setiap orang dilarang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi yang secara eksplisit memuat:
a. persenggamaan, termasuk persenggamaan yang menyimpang;
b. kekerasan seksual;
c. masturbasi atau onani;
d. ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan;
e. alat kelamin; atau
f. pornografi anak.

(2) Setiap orang dilarang menyediakan jasa pornografi yang:
a. menyajikan secara eksplisit ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan;
b. menyajikan secara eksplisit alat kelamin;
c. mengeksploitasi atau memamerkan aktivitas seksual; atau
d. menawarkan atau mengiklankan, baik langsung maupun tidak langsung layanan seksual.

Pasal 5
Setiap orang dilarang meminjamkan atau mengunduh pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1).
Pasal 6
Setiap orang dilarang memperdengarkan, mempertontonkan, memanfaatkan, memiliki, atau menyimpan produk pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), kecuali yang diberi kewenangan oleh peraturan perundang-undangan.

Pasal 7
Setiap orang dilarang mendanai atau memfasilitasi perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4.

Pasal 8
Setiap orang dilarang dengan sengaja atau atas persetujuan dirinya menjadi objek atau model yang mengandung muatan pornografi.
Pasal 9
Setiap orang dilarang menjadikan orang lain sebagai objek atau model yang mengandung muatan pornografi.
Pasal 10
Setiap orang dilarang mempertontonkan diri atau orang lain dalam pertunjukan atau di muka umum yang menggambarkan ketelanjangan, eksploitasi seksual, persenggamaan, atau yang bermuatan pornografi lainnya.
Pasal 11
Setiap orang dilarang melibatkan anak dalam kegiatan dan/atau sebagai objek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 8, Pasal 9, atau Pasal 10.
Pasal 12
Setiap orang dilarang mengajak, membujuk, memanfaatkan, membiarkan, menyalahgunakan kekuasaan atau memaksa anak dalam menggunakan produk atau jasa pornografi.
Pasal 13
(1) Pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi yang memuat selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) wajib mendasarkan pada peraturan perundang-undangan.
(2) Pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan di tempat dan dengan cara khusus.
Pasal 14
Ketentuan mengenai syarat dan tata cara perizinan pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan produk pornografi untuk tujuan dan kepentingan pendidikan dan pelayanan kesehatan dan pelaksanaan ketentuan Pasal 13 diatur dengan Peraturan Pemerintah.






BAB III
PERLINDUNGAN ANAK
Pasal 15
Setiap orang berkewajiban melindungi anak dari pengaruh pornografi dan mencegah akses anak terhadap informasi pornografi.
Pasal 16
(1) Pemerintah, lembaga sosial, lembaga pendidikan, lembaga keagamaan, keluarga, dan/atau masyarakat berkewajiban memberikan pembinaan, pendampingan, serta pemulihan sosial, kesehatan fisik dan mental bagi setiap anak yang menjadi korban atau pelaku pornografi.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan, pendampingan, serta pemulihan sosial, kesehatan fisik dan mental sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

BAB IV
PENCEGAHAN
Bagian Kesatu
Peran Pemerintah
Pasal 17
Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib melakukan pencegahan pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi.
Pasal 18
Untuk melakukan pencegahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, Pemerintah berwenang:
a. melakukan pemutusan jaringan pembuatan dan penyebarluasan produk pornografi atau jasa pornografi, termasuk pemblokiran pornografi melalui internet;
b. melakukan pengawasan terhadap pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi; dan
c. melakukan kerja sama dan koordinasi dengan berbagai pihak, baik dari dalam maupun dari luar negeri, dalam pencegahan pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi.
Pasal 19
Untuk melakukan pencegahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, Pemerintah Daerah berwenang:
a. melakukan pemutusan jaringan pembuatan dan penyebarluasan produk pornografi atau jasa pornografi, termasuk pemblokiran pornografi melalui internet di wilayahnya;
b. melakukan pengawasan terhadap pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi di wilayahnya;
c. melakukan kerja sama dan koordinasi dengan berbagai pihak dalam pencegahan pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi di wilayahnya; dan
d. mengembangkan sistem komunikasi, informasi, dan edukasi dalam rangka pencegahan pornografi di wilayahnya.

Bagian Kedua
Peran Serta Masyarakat
Pasal 20
Masyarakat dapat berperan serta dalam melakukan pencegahan terhadap pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi.
Pasal 21
(1) Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 dapat dilakukan dengan cara:
a. melaporkan pelanggaran Undang-Undang ini;
b. melakukan gugatan perwakilan ke pengadilan;
c. melakukan sosialisasi peraturan perundang-undangan yang mengatur pornografi; dan
d. melakukan pembinaan kepada masyarakat terhadap bahaya dan dampak pornografi.

(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 22
Masyarakat yang melaporkan pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf a berhak mendapat perlindungan berdasarkan peraturan perundang-undangan.





BAB V
PENYIDIKAN, PENUNTUTAN, DAN PEMERIKSAAN DI SIDANG PENGADILAN
Pasal 23
Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap pelanggaran pornografi dilaksanakan berdasarkan Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini.
Pasal 24
Di samping alat bukti sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana, termasuk juga alat bukti dalam perkara tindak pidana meliputi tetapi tidak terbatas pada:
a. barang yang memuat tulisan atau gambar dalam bentuk cetakan atau bukan cetakan, baik elektronik, optik, maupun bentuk penyimpanan data lainnya; dan
b. data yang tersimpan dalam jaringan internet dan saluran komunikasi lainnya.
Pasal 25
(1) Untuk kepentingan penyidikan, penyidik berwenang membuka akses, memeriksa, dan membuat salinan data elektronik yang tersimpan dalam fail komputer, jaringan internet, media optik, serta bentuk penyimpanan data elektronik lainnya.
(2) Untuk kepentingan penyidikan, pemilik data, penyimpan data, atau penyedia jasa layanan elektronik berkewajiban menyerahkan dan/atau membuka data elektronik yang diminta penyidik.
(3) Pemilik data, penyimpan data, atau penyedia jasa layanan elektronik setelah menyerahkan dan/atau membuka data elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berhak menerima tanda terima penyerahan atau berita acara pembukaan data elektronik dari penyidik.
Pasal 26
Penyidik membuat berita acara tentang tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 dan mengirim turunan berita acara tersebut kepada pemilik data, penyimpan data, atau penyedia jasa layanan komunikasi di tempat data tersebut didapatkan.

Pasal 27
(1) Data elektronik yang ada hubungannya dengan perkara yang sedang diperiksa dilampirkan dalam berkas perkara.

(2) Data elektronik yang ada hubungannya dengan perkara yang sedang diperiksa dapat dimusnahkan atau dihapus.

 (3) Penyidik, penuntut umum, dan para pejabat pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan wajib merahasiakan dengan sungguh-sungguh atas kekuatan sumpah jabatan, baik isi maupun informasi data elektronik yang dimusnahkan atau dihapus.
BAB VI
PEMUSNAHAN
Pasal 28
(1) Pemusnahan dilakukan terhadap produk pornografi hasil perampasan.
(2) Pemusnahan produk pornografi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh penuntut umum dengan membuat berita acara yang sekurang-kurangnya memuat:
a. nama media cetak dan/atau media elektronik yang menyebarluaskan pornografi;
b. nama, jenis, dan jumlah barang yang dimusnahkan;
c. hari, tanggal, bulan, dan tahun pemusnahan; dan
d. keterangan mengenai pemilik atau yang menguasai barang yang dimusnahkan.
BAB VII
KETENTUAN PIDANA
Pasal 29
Setiap orang yang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebar-luaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah).
Pasal 30
Setiap orang yang menyediakan jasa pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 6 (enam) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).

Pasal 31
Setiap orang yang meminjamkan atau mengunduh pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).
Pasal 32
Setiap orang yang memperdengarkan, mempertontonkan, memanfaatkan, memiliki, atau menyimpan produk pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dipidana dengan pidana paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).
Pasal 33
Setiap orang yang mendanai atau memfasilitasi perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp7.500.000.000,00 (tujuh miliar lima ratus juta rupiah).
Pasal 34
Setiap orang yang dengan sengaja atau atas persetujuan dirinya menjadi objek atau model yang mengandung muatan pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
Pasal 35
Setiap orang yang menjadikan orang lain sebagai objek atau model yang mengandung muatan pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah).
Pasal 36
Setiap orang yang mempertontonkan diri atau orang lain dalam pertunjukan atau di muka umum yang menggambarkan ketelanjangan, eksploitasi seksual, persenggamaan, atau yang bermuatan pornografi lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
Pasal 37
Setiap orang yang melibatkan anak dalam kegiatan dan/atau sebagai objek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dipidana dengan pidana yang sama dengan pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29, Pasal 30, Pasal 31, Pasal 32, Pasal 34, Pasal 35, dan Pasal 36, ditambah 1/3 (sepertiga) dari maksimum ancaman pidananya.
Pasal 38
Setiap orang yang mengajak, membujuk, memanfaatkan, membiarkan, menyalahgunakan kekuasaan, atau memaksa anak dalam menggunakan produk atau jasa pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 6 (enam) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
Pasal 39
Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29, Pasal 30, Pasal 31, Pasal 32, Pasal 33, Pasal 34, Pasal 35, Pasal 36, Pasal 37, dan Pasal 38 adalah kejahatan.
Pasal 40
(1) Dalam hal tindak pidana pornografi dilakukan oleh atau atas nama suatu korporasi, tuntutan dan penjatuhan pidana dapat dilakukan terhadap korporasi dan/atau pengurusnya.
(2) Tindak pidana pornografi dilakukan oleh korporasi apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh orang-orang, baik berdasarkan hubungan kerja maupun berdasarkan hubungan lain, bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut, baik sendiri maupun bersama-sama.
(3) Dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap suatu korporasi, korporasi tersebut diwakili oleh pengurus.
(4) Pengurus yang mewakili korporasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat diwakili oleh orang lain.
(5) Hakim dapat memerintahkan pengurus korporasi supaya pengurus korporasi menghadap sendiri di pengadilan dan dapat pula memerintahkan pengurus korporasi supaya pengurus tersebut dibawa ke sidang pengadilan.



(6) Dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap korporasi, panggilan untuk menghadap dan penyerahan surat panggilan tersebut disampaikan kepada pengurus di tempat tinggal pengurus atau di tempat pengurus berkantor.
(7) Dalam hal tindak pidana pornografi yang dilakukan korporasi, selain pidana penjara dan denda terhadap pengurusnya, dijatuhkan pula pidana denda terhadap korporasi dengan ketentuan maksimum pidana dikalikan 3 (tiga) dari pidana denda yang ditentukan dalam setiap pasal dalam Bab ini.
Pasal 41
Selain pidana pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (7), korporasi dapat dikenai pidana tambahan berupa:
a. pembekuan izin usaha;
b. pencabutan izin usaha;
c. perampasan kekayaan hasil tindak pidana; dan
d. pencabutan status badan hukum.
BAB VIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 42
Untuk meningkatkan efektivitas pelaksanaan Undang-Undang ini, dibentuk gugus tugas antardepartemen, kementerian, dan lembaga terkait yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Presiden.
Pasal 43
Pada saat Undang-Undang ini berlaku, dalam waktu paling lama 1 (satu) bulan setiap orang yang memiliki atau menyimpan produk pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) harus memusnahkan sendiri atau menyerahkan kepada pihak yang berwajib untuk dimusnahkan.
Pasal 44
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua peraturan perundang-undangan yang mengatur atau berkaitan dengan tindak pidana pornografi dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang ini.
Pasal 45
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.


















Pada bagian ini akan diuraikan secara singkat mengenai unsur-unsur tindak pidana pornografi dan pornoaksi. Uraian ini bertujuan untuk mengetahui unsur-unsur yang harus dipenuhi, sehingga suatu perbuatan dapat dikualifikasi sebagai tindak pidana pornografi dan atau pornoaksi. Dengan diketahuinya unsur-unsur dalam tindak pidana pornografi dan atau pornoaksi tersebut diharapkan dapat membantu dalam mengetahui alur pikiran atau latar belakang penyusunan atau dimasukkannya tindak pidana pornografi dan pornoaksi ke dalam Rancangan KUHP.

Untuk memudahkan memahami ketentuan-ketentuan mengenai tindak pidana pornografi dan pornoaksi, uraian akan dilakukan dengan menguraikan unsur-unsur yang terdapat dalam suatu pasal, yaitu unsur obyektif dan unsur subyektif.

Tindak Pidana Pornografi
                                                                             
Pasal
Unsur Obyektif
Unsur subyektif
468 Ayat 1
Setiap orang yang membuat :
1. tulisan;
2. suara;
3. rekaman suara;
4. film atau yang dapat disamakan dengan
    film;
5. syair lagu;
6. puisi;
7. gambar;
8. foto;
9. lukisan


Mengeksploitasi daya tarik seksual pada bagian tubuh; aktivitas seksual; hubungan seksual antara laki-laki dengan perempuan atau sesama jenis; atau aktivitas atau hubungan seksual dengan binatang; dengan jenazah
469 ayat 1
Setiap orang yang menyiarkan, memperdengarkan, mempertontonkan, menempelkan melalui media massa cetak, media massa elektronik dan/ atau alat komunikasi media :
1. tulisan;
2. suara;
3. rekaman suara;
4. film atau yang dapat disamakan dengan
    film;
5. syair lagu;
6. puisi;
7. gambar;
8. foto;
9. lukisan

Mengeksploitasi daya tarik seksual pada bagian tubuh, aktivitas seksual; hubungan seksual antara laki-laki dengan perempuan atau sesama jenis; atau aktivitas hubungan seksual dengan binatang atau jenazah.
470
Setiap orang yang menjadikan diri sendiri
dan/atau orang lain sebagai:
1. model;
2. objek pembuatan tulisan;
3. suara;
4. rekaman suara;
5. film;
6. yang dapat disamakan dengan film;
7. syair lagu;
8. puisi;
9. gambar;
10. foto;
11. lukisan.

Mengeksploitasi daya tarik seksual pada bagian tubuh; aktivitas seksual; hubungan seksual antara laki-laki dengan perempuan atau sesama jenis; atau aktivitas atau hubungan seksual dengan binatang atau dengan jenazah






471
Setiap orang yang memaksa anak-anak
menjadi:
1. model;
2. objek pembuatan tulisan;
3. suara;
4. rekaman suara;
5. film;
6. yang dapat disamakan dengan film;
7. syair lagu;
8. puisi;
9. gambar;
10. foto;
11. lukisan.

Mengeksploitasi anak-anak untuk
melakukan aktivitas seksual atau
persetubuhan.

472
Setiap orang yang membuat,
menyebarluaskan, dan menggunakan karya
seni:
1. di media masa cetak;
2. media massa elektronik;
3. alat komunikasi media;
4. di tempat-tempat umum;
5. tempat yang bukan dimaksudkan
    sebagai tempat pertunjukan karya seni.

yang mengandung sifat pornograf
473
Setiap orang yang:
1. membeli barang pornografi;
2. jasa pornografi.

Tanpa alasan yang dibenarkan.
                 
474
Setiap orang yang:
1. mendanai;
2. menyediakan tempat;
3. peralatan;
4. perlengkapan bagi orang lain.

Untuk melakukan kegiatan pornografi
dan/atau pameran pornografi















Tindak Pidana Pornoaksi
Pasal
Unsur Obyektif
Unsur subyektif
475
Setiap orang yang di muka umum atau di suatu tempat yang dapat dilihat oleh umum :
1. mempertontonkan alat kelamin;
2. melakukan aktivitas seksual;
3. melakukan hubungan seksual


476
Setiap orang yang di muka umum mempertontonkan :
1. gerakan;
2. tarian erotis;
3. peragaan orang yang sedang melakukan
    hubungan  seks


477
Setiap orang yang menyelenggarakan acara pertunjukan seks atau pesta seks

478
Setiap orang yang menonton acara pertunjukan seks atau pesta seks

479
Setiap orang yang :
1. mendanai;
2. menyediakan tempat;
3. menyediakan peralatan dan atau perlengkapan bagi
orang lain.

Untuk melakukan
kegiatan pornoaksi; acara
pertunjukan seks; atau
acara pesta seks.


Sanksi  Pidana terhadap Tindak Pidana Pornografi dan Pornoaksi
Pemidanaan terhadap pelaku-pelaku tindak pidana bertujuan untuk mencegah dilakukannya tindak pidana yang sama di masa yang akan datang, serta untuk menegak-kan norma hukum. Namun demikian, dilaksanakannya pemidanaan harus tetap menghindari ketidakadilan (injustice) dengan menetapkan batas pemidanaan (the limit of sentencing) dan bobot pemidanaan (the level of sentencing). Berkaitan dengan pemidanaan dalam Rancangan KUHP, tampaknya ada pergeseran pemikiran dari penyusun Rancangan KUHP dalam mengatur mengenai pemidanaan ini, dimana Rancangan KUHP tidak lagi memfokuskan pada upaya penjatuhan sanksi untuk pelanggar sebagai parameter keadilan, tetapi juga mengembangkan alternatif sanksi yang memikirkan kepentingan dampak kejahatan dengan memasukkan alternatif sanksi pidana, antara lain pidana pengawasan, kerja sosial, pembayaran ganti kerugian, dan pemenuhan kewajiban adat.
Namun, pergeseran pemikiran penyusun Rancangan KUHP tersebut ternyata belum menunjukkan suatu pola pemikiran pembaruan (reformasi) hukum pidana yang mendasar atau mengubah paradigma pemidanaan. Sehingga masih terdapat pola pikir lama dalam pemidanaan yang sebenarnya tidak cocok lagi dengan kehidupan masyarakat Indonesia sekarang.

Berkaitan pemidanaan terhadap tindak pidana pornografi dan pornoaksi, tampaknya penyusun Rancangan KUHP ingin melakukan penyesuaian dengan pemikiran baru yang diusungnya. Hal ini terlihat dengan dicantumkannya kategori-kategori pidana denda dalam ancaman pidananya. Adapun jenis pidana yang diancamkan terhadap pelaku tindak pidana pornografi dan pornoaksi ini hanya terdiri dari dua jenis, yaitu pidana penjara dan pidana denda. Untuk tindak pidana pornografi, pidana penjara paling rendah adalah 2 (dua) tahun dan paling tinggi 15 (limabelas) tahun. Sedangkan untuk pidana denda, ancaman paling rendahnya adalah denda kategori II dan paling tinggi kategori VI. Jadi hanya ada dua alternatif pidana untuk tindak pidana ini.


            Khusus mengenai tindak pidana pornografi yang melibatkan anak sebagai salah satu obyeknya, Rancangan KUHP ini memberikan ancaman pidana yang kelihatannya ambigu sekali. Di satu sisi ingin memberikan efek jera yang kuat bagi pelakunya. Sedangkan disisi lain memberikan alternatif yang justru lebih banyak dan ringan dari tujuan yang hendak dicapai. Hal ini disebabkan karena penyusun Rancangan KUHP memberikan banyak alternatif dalam ancaman pidananya. Alternatif pertama yang diberikan adalah dengan adanya ancaman pidana minimum dan maksimum, yaitu minumum 2 (dua) tahun dan maksimum 7 (tujuh) tahun, atau dapat juga pidana denda paling banyak Kategori V dan paling sedikit kategori III atau IV.
Sementara itu, ancaman pidana terhadap pelaku tindak pidana pornoaksi, sama seperti tindak pidana pornografi, variasinya hanya meliputi pidana penjara dan pidana denda. Untuk pidana penjara, ancaman pidana yang paling lama adalah 15 (lima belas) tahun penjara, yaitu untuk “setiap orang yang menyelenggarakan acara pertunjukan seks atau pesta seks dengan melibatkan anak-anak; orang yang mendanai atau menyediakan tempat, peralatan dan/atau perlengkapan bagi orang lain untuk melakukan kegiatan pornoaksi, acara pertunjukan seks, atau acara pesta seks, dan orang yang mendanai atau menyediakan tempat, peralatan, dan/atau perlengkapan bagi orang lain untuk melakukan kegiatan pornoaksi, acara pertunjukan seks, dan/atau pesta seks yang melibatkan anak-anak”. Sedangkan ancaman pidana paling singkat adalah 2 (dua) tahun penjara, yaitu untuk orang yang menyelenggarakan acara pertunjukan seks atau pesta seks dan orang yang menonton acara pertunjukan seks atau pesta seks dengan melibatkan anak-anak.

Untuk pidana denda, ancaman pidana paling rendah adalah denda Kategori II. Ancaman pidana ini diberikan terhadap “setiap orang yang di muka umum mempertontonkan gerakan atau tarian erotis atau peragaan orang yang sedang melakukan hubungan seks”, dan ancaman pidana denda paling banyak adalah denda Kategori VI,  yang diancamkan terhadap “setiap orang yang menyelenggarakan acara pertunjukan seks atau pesta seks dengan melibatkan anak-anak; setiap orang yang mendanai atau menyediakan tempat, peralatan dan/atau perlengkapan bagi orang lain untuk melakukan kegiatan pornoaksi, acara pertunjukan seks, atau acara pesta seks, dan setiap orang yang mendanai atau menyediakan tempat, peralatan, dan/atau perlengkapan bagi orang lain untuk melakukan kegiatan pornoaksi, acara pertunjukan seks, dan/ataupesta seks yang melibatkan anak-anak”.
Banyaknya alternatif pilihan ancaman pidana yang diberikan penyusun Rancangan KUHP kepada para pelanggar tindak pidana ini menunjukkan bahwa penyusun Rancangan KUHP masih ragu-ragu untuk menggunakan pidana penjara sebagai pilihan jenis pidana. Hal ini mungkin berkaitan karena adanya dampak negatif yang ditimbulkan diterapkannya pidana penjara. Disamping itu,harus diakui bahwa digunakannya pidana penjara sebagai pidana pokok tidak membuat orang kapok untuk tidak mengulangi lagi perbuatannya. Bahkan dapat menjadikan orang semakin buruk perilakunya atau tidak menjadi baik. Disamping itu, dasar filosofis dari pidana penjara adalah pembalasan (retributif).

Sehubungan dengan pidana denda, sebagaimana juga terlihat dalam ketentuan pidana yang diatur dalam Pasal 75 sampai dengan Pasal 78, cukup memberikan gambaran mengenai besaran pidana denda yang akan dikenakan terhadap pelaku tindak pidana, dimana dalam hal tindak pidana pornografi dan pornoaksi pidana denda yang diancamkan besarannya antara Kategori II sampai dengan Kategori VI. Cukup besar apabila hal ini diterapkan kepada semua pelaku tindak pidana. Walaupun jika dibandingkan dengan nilai kerugian materiil dan immateriil yang diderita oleh korban atau masyarakat besaran pidana denda tersebut kemungkinan dirasakan tidak adil.






Oleh karenanya, besaran pidana denda sebaiknya disamakan dengan pidana ganti kerugian, yakni akan dihitung berdasarkan dampak kejahatan yang dialami korbannya atau masyarakat. Semakin besar nilai kerugian materiil akan semakin besar pidana denda yang hendak dijatuhkan kepada pelanggar. Apabila ditetapkan sebelumnya seperti ketentuan Pasal 75 ayat (3) pidana yang hendak dijatuhkan bisa sama padahal perbuatan pidana yang sama belum tentu menimbulkan dampak kerugian yang sama, umumnya berbeda-beda, maka pidana denda juga berbeda-beda sesuai nilai kerugian yang ditimbulkan oleh perbuatan pidana.
Pidana denda sebagai instrumen pemidanaan untuk mencapai tujuan pemidanaan dinilai lebih tepat, asalkan disesuaikan dengan kemampuan terpidana, baik dilakukan secara tunai maupun dengan cara mengangsur. Pidana denda memang berbeda dengan pidana ganti kerugian yang dapat dibayarkan langsung kepada korban, dalam konteks ini pidana denda dibayarkan kepada negara dan negara membayar kepada korban (pihak yang dirugikan) sebagai bagian dari tanggungjawab negara terhadap rakyatnya. Jika kerugian akibat kejahatan bersifat abstrak atau kolektif (masyarakat), maka pidana dapat dikembalikan kepada masyarakat dalam bentuk peningkatan layanan umum kepada masyarakat terutama terhadap kelompok masyarakat yang menderita akibat adanya kejahatan.

Namun demikian, permasalahan pornografi dan pornoaksi tidak cukup diatasi dengan berkonsentrasi pada ancaman pidana yang akan diterapkan. Penanganan permasalahan tersebut merupakan salah satu pilar penting dalam memerangi tindak pidana pornografi dan pornoaksi. Penanganan yang komprehensif, mulai dari penguatan pendidikan dan pengetahuan dalam diri individu dan masyarakat, penegakkan hukum, dan reformasi aparat penegak hukum merupakan kunci keberhasilan dalam memerangi dan menangani permasalahan yang berkaitan dengan tindak pidana kesusilaan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar